Ta’rif Salafi
Kata salafi diambil
dari kata salaf yang menurut bahasa (etimologi) mempunyai banyak arti,
namun demikian semua makna tersebut bermuara kepada sebuah arti yang berkenaan
dengan masa atau waktu, setiap masa bisa dikatakan sebagai salaf jika
dilihat dalam konteks masa-masa setelahnya.
Sedangkan menurut istilah
(terminology) maksud dari kata salaf adalah tiga generasi pertama umat
Nabi Muhammad Saw sebagaimana ditegaskan oleh baginda dengan sabdanya;
«خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ،
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ».
“Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (para sahabat)
kemudian yang mendekati mereka (tabiin) kemudian yang mendekati mereka (tabiit
tabiin).”
Dari definisi di atas
dapat dipahami bahwa pada dasarnya istilah salaf mengandung makna yang
baik, namun kemudian disalah-pahami, bahkan cenderung dirampas oleh orang-orang
yang menisbatkan diri mereka ke dalam nama salafi. Bahkan di antara
mereka secara terang-terangan mengklaim sebagai satu-satunya pewaris ajaran salaf;
tidak ada salafi selain mereka.
Sejarah Istilah
Salaf
Istilah salaf
muncul pertama kali di Mesir ketika negara tersebut masih di bawah jajahan
Inggris, tepatnya ketika Jamaludin al-Afghani (wafat 1897 M) dan muridnya yang
bernama Muhammad Abduh (wafat 1905 M) mengumandangkan gerakan tajdid (reformasi)
agama.
Menurut Prof. Dr Ali
Jum’ah Saat itu berbagai
ritual bid’ah dan khurafat serta kepercayaan takhayul berkembang
pesat di Mesir, ajaran tashawwuf yang terkontaminasi dengan kemusyrikan kian memicu
berseraknya ritual aneh bahkan “gila” di tengah masyarakat.
Tujuan dari pemilihan
istilah salaf atau as-salafiah adalah untuk membangkitkan
kebencian masyarakat terhadap segala bentuk kekeliruan yang berkembang saat itu.
Obsesi itu ditempuh dengan membandingkan realita kehidupan kamu muslimin di
masa salaf yang penuh kegemilangan dan kemajuan dengan realita yang
dialami saat ini yang penuh dengan kesuraman dan terjajah.
Jamaludin al-Afghani dan
Muhammad abduh berusaha memperbaiki keadaan kaum muslimin dengan cara mengembalikan
mereka kepada ajaran Islam yang benar dan bersih dari khurafat, bid’ah dan
takhayul. Di samping usaha merevitalisasi ajaran Islam agar dapat relevan
dengan roda kehidupan masa kini dengan cara membuka diri dengan peradaban barat
selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Bersamaan dengan gerakan tajdid
di Mesir, saat itu di Najed (Saudi) juga sedang marak gerakan tajdid yang pada
awalnya dimotori oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat 1792 M), gerakan tajdid
di Saudi ini menisbatkan diri sebagai gerakan al-muwahhidun (para
penegak tauhid), kemudian seiring perjalanan waktu lebih dikenal dengan istilah
wahabi. Kedua gerakan ini
mempunyai kolerasi (persamaan) di dalam memerangi bid’ah takhayul dan
khurafat.
Namun demikian juga terdapat
perbedaan yang mendasar di antara kedua jenis salafi ini;
- Gerakan
salaf di Mesir tidak menisbatkan diri kepada mazhab fiqh tertentu,
sedangkan gerakan salaf di Saudi menisbatkan diri kepada mazhab Hambali.
- Gerakan
salaf di Mesir membuka diri dari peradaban barat termasuk dalam
penampilan selama masih tidak bertentangan dengan syari'at, sedangkan gerakan salaf di Saudi umumnya bersikap menutup diri dari peradaban barat.
Selanjutnya, pengaruh "Salafi Mesir" menjadi sumber inspirasi kelompok atau organisasi massa umat Islam seperti Ikhwanul Musilimin di Mesir, Muhammadiyah, PKS, Persis dll di Indonesia.
Perampasan Istilah "Salafi"
Istilah salaf yang
awalnya muncul di Mesir menjadi bergaung di Hijaz (Mekah-Madinah), seiring
perjalanan waktu istilah salaf dirampas oleh sekelompok elit aliran
wahabi yang mempunyai nalar black conspiration (konspirasi hitam) atau sau’u
dzan, mereka selalu dihinggapi anggapan adanya konspirasi hitam dari
masyarakat sekitar terhadap mereka, mereka terhasut seakan-akan masyarakat
sekitar berusaha menyingkirkan mereka dari muka bumi, sehingga mereka
berapi-api untuk menjadi musuh bagi orang-orang di sekitar mereka.
Dasar pemikiran mereka
adalah menonjolkan kesombongan dan ujub, termasuk dalam hal penampilan
dan berpakaian, implikasinya mereka meremehkan berbagai pendapat yang
bertentangan dengan mereka, sesuatu yang zanni (belum pasti) bisa
berubah menjadi sesuatu yang qath’i (pasti) dalam pandangan mereka.
Di antara karakter mereka
adalah senantiasa menentang segala bentuk pembaharuan (tajdid) dalam
agama, dengan alasan bahwa setiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah
sesat, dan setiap sesat itu tempatnya di neraka. Hal ini jelas-jelas sangat
bertentangan dengan maksud penisbatan salaf yang pertama kali dikumandangkan
oleh Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir.
"Salafi" Menjadi
Pengakuan Wajib
Lebih parah lagi golongan
ini menjadikan pengakuan “salafi” sebagai pengakuan wajib, artinya umat
Islam tidak cukup hanya mengaku sebagai ahlus sunnah wal jamaah jika
belum menisbatkan diri kepada istilah salafi, contohnya dengan mengatakan;
Aku adalah ahlus sunnah wal jamaah dengan manhaj salaf.
Penisbatan tersebut
sebenarnya adalah akibat taqlid atas doktrin yang pernah diucapkan oleh
syaikh al-Albani rahimahullah;
“Kalau kamu berkata;
Aku seorang muslim yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan as-sunnah. Ini belum
cukup, karena seluruh pengikut kelompok dan golongan yang ada seperti
asy’ariyah dan maturudiyah serta para hizbiyun juga mengklaim bahwa mereka
adalah pengikut dua pokok utama tersebut, penamaan yang jelas, terang dan dapat
membedakan kita dengan yang lain adalah; Aku seorang muslim yang berlandaskan
kepada al-Qur’an dan as-sunnah dan pemahaman salafus shalih, atau berkata
secara ringkas; Aku adalah "salafi".”
Perpecahan Salafi
Saudi
Karena konsep dakwah yang
keras akibatnya salafi Saudi dengan cepat terpecah ke dalam berbagai sempalan masing-masing mengklaim bahwa kelompok merekalah yang benar, sedangkan yang lain sesat. Secara garis besar salafi Saudi terbagi
menjadi dua.
Pertama salafi wahabi; adalah, golongan salafi yang menjadikan ulama’ Saudi sebagai rujukan utama dalam keilmuan, golongan ini paling anti dengan konsep jamaah wal imamah (umat Islam yang membentuk jamaah dan membaiat seorang imam), karena dalam anggapan mereka umat Islam yang membentuk jamaah adalah golongan hizbiyyun. Bagi mereka pemerintah di sebuah negara adalah imam bagi umat Islam, walupun pemerintah itu diangkat dengan konsep yang mereka anggap haram yaitu sistem demokrasi dan pemilihan umum. Hal ini disebabkan bahwa sejak awal syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama’-ulama’ Saudi yang menjadi penerusnya (termasuk syaikh Bin Baz dan syaikh al-Utsaimin) adalah ulama’ yang menjalin taat setia kepada keluarga kerajaan Saudi, sehingga telah menjadi doktrin di kalangan salafi wahabi bahwa pemerintah yang berkuasa di sebuah negara adalah imam bagi umat Islam di negara itu.
Kedua salafi irhabi (teroris) atau takfiri (mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka); adalah, golongan salafi yang menganut faham radikal, menganggap halal untuk melakukan tindakan irhab (terror) seperti pembunuhan, pengeboman dan tindakan-tindakan perusakan lainnya dengan tanpa pandang bulu, mereka bukan hanya memusuhi orang-orang non muslim bahkan merekapun mengkafirkan ulama’ dan umat Islam di luar kelompok mereka, termasuk ulama’ Saudi, menurut mereka pemerintah Saudi adalah rezim kafir, yang halal diperangi sehingga bagi mereka ulama’ Saudi adalah kacungnya orang-orang kafir. Yang termasuk golongan salafi irhabi ini adalah al-Qaeda, Jamaah Islamiyah dan lain-lainnya.
Antara Salafi dengan Islam Jamaah alias LDII
Selain dari dua jenis salafi tersebut, juga ada golongan yang posisinya tidak jelas; diantara salafi wahabi dan salafi irhabi. Golongan tersebut adalah yang dikenal sebagai Islam Jamaah dengan wadah organisasinya LDII. Kelompok ini secara keilmuan mengambil dari para ulama salafi wahabi. Namun dari sudut ideologi mereka lebih cenderung kepada salafi irhabi, indikasinya adalah mereka meyakini bahwa hanya mereka yang benar atau sah Islamnya. Dengan kata lain, antara kelompok Islam Jamaah dengan salafi, baik yang wahabi ataupun yang irhabi mempunyai DNA yang sama.
Selanjutnya, bagi Islam Jamaah, umat Islam di luar mereka adalah orang-orang kafir. Bahkan ulama Saudi yang notabene sumber ilmu mereka, juga mereka tuduh sudah tidak murni dan tidak sah Islamnya.
Hal ini dikarenakan pemimpin mereka hanya memanfaatkan ideologi takfiri dari salafi irhabi untuk mendoktrin para pengikutnya. Misi utama pemimpin kelompok ini adalah menguras harta pengikutnya, dengan cara mewajibkan para pengikutnya untuk infak sedikitnya 10% dari pendapatan mereka, bahkan orang-orang miskin diantara mereka, seperti golongan buruh, tukang becak dan seumpamnya, juga mereka wajibkan untuk infak, sedikitnya 2.5%.
Kelompok ini mendoktrin para pengikutnya yang rata-rata tidak menguasai ilmu agama untuk meyakini bahawa mereka adalah satu-satunya golongan yang paling beruntung, sebab hanya merekalah yang akan masuk surga selamat dari neraka. Dengan demikian, di samping ada persamaan antara kelompok ini dengan kelompok ISIS yang dari golongan salafi irhabi, namun juga ada perbedaannya.
Persamaannya: i) berakidah takfiri, termasuk di dalamnya adalah mereka menghukumi para pengikut yang keluar sebagai orang murtad yang halal harta dan darahnya. ii) para pemimpinnya tidak mempunyai pemahaman ilmu agama yang cukup dan benar.
Perbedaannya: i) ISIS, ingin mendirikan daulah Islam dengan dipimpin khalifah. ii) Islam Jamaah atau LDII, sekalipun pada awalnya ingin melakukan hal yang sama (juga bertujuan mendirikan negara Islam), namun mereka takut akan ditindak oleh pemerintah sebagai pemberontak. Oleh karenanya mereka tidak memaksakan keinginan itu, namun mengalihkannya dengan mendoktrin kepada pengikutnya bahwa dengan bergabung di dalam Islam Jamaah maka para pengikutnya telah aman, sebab mempunyai imam walaupun secara rahasia. Di dalam keyakinan mereka, di dunia ini tidak ada, atau belum ada negara Islam. Bahkan Saudi Arabia pun tidak mereka anggap sebagai negara Islam. Buktinya adalah para pengikut mereka yang berada di Saudi tetap harus sambung dengan imam rahasai mereka itu di Indonesia, dan dilarang mengaji kepada para Ulama di Saudi dengan alasan ilmu mereka sudah tidak murni alias salah dan tidak sah.
Penutup
Pada hakikatnya penisbatan diri dengan manhaj salaf, adalah suatu bentuk ghuluw dalam berideologi. Hal itu hanya akan membuat para pelakunya merasa paling benar, paling nyunnah, bahkan sampai pada tahap takfiri. Korban ideologi ini adalah orang-orang awam yang ingin mencari kebenaran namun takdir baik tidak menyebelahi mereka.
Yang menyedihkan adalah, ada diantara mereka ada yang tidak menyadari; setelah sekian lama ia mengikuti kelompk yang berideologi ghuluw, kemudian ia "mendapat hidayah" meninggalkan kelompok itu berpindah pada komunitas kajian yang "tidak berkelompok". Namun, ternyata sebenarnya komunitas itu juga berideologi ghuluw. Ibarat keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.