Jawab: Di dalam
masalah ini para ulama’ terbagi di dalam tiga pendapat yang berbeda; Pertama; Melarang sama sekali. Kedua; Membolehkan dengan syarat membacanya tidak
bertajuid. Ketiga; Membolehkannya dengan tanpa syarat.
Dari tiga pendapat tersebut menurut hemat saya yang arjah (paling rajih
atau benar sebab paling kuat hujjahnya) adalah pendapat yang ketiga yaitu;
Perempuan yang haidh atau nifas boleh membaca al-Qur’an dengan tanpa
syarat. Kebolehan ini didukung oleh beberapa sebab, antara lain
adalah;
Pertama; Membaca
al-Qur’an dan dzikrullah adalah termasuk
ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul, serta disediakan
ganjaran yang besar bagi orang yang melakukannya, oleh itu siapa saja
yang melarang atas kondisi tertentu misalnya haidh atau nifas
maka dia perlu mendatangkan dalillnya.
Kedua; Tidak
ada satupun dalil yang qath'iy
yang melarang wanita haidh atau nifas dari membaca al-Qur’an, termasuk hadits;
عَنِ
ابْنِ عُمرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ: «لَا
يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ شيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ».
“Dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Saw bersabda;
Orang yang junub dan orang yang haidh tidak boleh membaca sesuatu dari
al-Qur’an.”[1]
Hadits di atas kedudukannya mungkar (dhaif)
atas sebab wahm (tidak jelas)nya perawi yang bernama Isma’il bin Ayyasy. [2]
Catatan; Larangan membaca sesuatu (ayat) dari al-Qur’an
bagi orang yang junub yang terdapat di dalam matan hadits
tersebut, juga jelas-jelas bertentangan dengan hadits shahih riwayat
al-Bukhari[3]
yang menceritakan perbuatan Rasulullah Saw mengirim surat kepada kaisar Romawi;
Heraklius (Hiraqla), yang di dalam surat tersebut terdapat ayat al-Qur’an;
يَا
أَهْلَ الْكِتابِ تَعالَوْا إِلى كَلِمَةٍ سَواءٍ بَيْنَنا وَبَيْنَكُمْ، الآية.
"Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, dst.”[4]
Sedangkan Hiraklius sebagai orang kafir, yang tidak diragukan lagi bahwa statusnya adalah senantiasa dalam keadaan junub.
Ketiga; Demikian pula
dengan yang membolehkan wanita haid atau nifas membaca al-Qur’an dengan
syarat membacanya tidak bertajuid, pendapat ini jelas bertentangan
dengan perintah Allah agar membaca al-Qur’an dengan tartil (sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajuid), firman Allah;
وَرَتِّلِ
الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Dan
bacalah al-Quran itu dengan tartil (bertajuid).”[5]
Atas sebab-sebab di atas, maka tidak ada alasan yang shahih
untuk melarang wanita haidh atau nifas dari membaca al-Qur’an,
sama ada larangan yang bersifat mutlak ataupun yang membolehkan dengan syarat. Wallahu
A’lam.
[1]
HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Kitab at-Thaharah Wa Sunaniha) :
1/196.
[2]
Lihat; Al-Ilal Wa Ma’rifatu ar-Rijal Li Ahmad: 3/381 dan Al- Ilal
al-Hadits Li Ibni Abi Hatim : 1/574.
[3]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kitab Bad’i al-Wahyi) : 1/8.
[4]
QS. Ali Imran (03) : 64.
[5]
QS. Al-Muzzammil (73) : 4.
No comments:
Post a Comment