Tuesday, August 27, 2013

Mengenal Salafi



Ta’rif  Salafi

Kata salafi diambil dari kata salaf yang menurut bahasa (etimologi) mempunyai banyak arti, namun demikian semua makna tersebut bermuara kepada sebuah arti yang berkenaan dengan masa atau waktu, setiap masa bisa dikatakan sebagai salaf jika dilihat dalam konteks masa-masa setelahnya.

Sedangkan menurut istilah (terminology) maksud dari kata salaf adalah tiga generasi pertama umat Nabi Muhammad Saw sebagaimana ditegaskan oleh baginda dengan sabdanya;

«خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ».
Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (para sahabat) kemudian yang mendekati mereka (tabiin) kemudian yang mendekati mereka (tabiit tabiin).”[1]

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya istilah salaf mengandung makna yang baik, namun kemudian disalah-pahami, bahkan cenderung dirampas oleh orang-orang yang menisbatkan diri mereka ke dalam nama salafi. Bahkan di antara mereka secara terang-terangan mengklaim sebagai satu-satunya pewaris ajaran salaf; tidak ada salafi selain mereka.

Sejarah Istilah Salaf

Istilah salaf muncul pertama kali di Mesir ketika negara tersebut masih di bawah jajahan Inggris, tepatnya ketika Jamaludin al-Afghani (wafat 1897 M) dan muridnya yang bernama Muhammad Abduh (wafat 1905 M) mengumandangkan gerakan tajdid (reformasi) agama.

Menurut Prof. Dr Ali Jum’ah[2] Saat itu berbagai ritual bid’ah dan khurafat serta kepercayaan takhayul berkembang pesat di Mesir, ajaran tashawwuf yang terkontaminasi dengan kemusyrikan kian memicu berseraknya ritual aneh bahkan “gila” di tengah masyarakat.[3]

Tujuan dari pemilihan istilah salaf atau as-salafiah adalah untuk membangkitkan kebencian masyarakat terhadap segala bentuk kekeliruan yang berkembang saat itu. Obsesi itu ditempuh dengan membandingkan realita kehidupan kamu muslimin di masa salaf yang penuh kegemilangan dan kemajuan dengan realita yang dialami saat ini yang penuh dengan kesuraman dan terjajah.

Jamaludin al-Afghani dan Muhammad abduh berusaha memperbaiki keadaan kaum muslimin dengan cara mengembalikan mereka kepada ajaran Islam yang benar dan bersih dari khurafat, bid’ah dan takhayul. Di samping usaha merevitalisasi ajaran Islam agar dapat relevan dengan roda kehidupan masa kini dengan cara membuka diri dengan peradaban barat selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Bersamaan dengan gerakan tajdid di Mesir, saat itu di Najed (Saudi) juga sedang marak gerakan tajdid yang pada awalnya dimotori oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat 1792 M), gerakan tajdid di Saudi ini menisbatkan diri sebagai gerakan al-muwahhidun (para penegak tauhid), kemudian seiring perjalanan waktu lebih dikenal dengan istilah wahabi[4]. Kedua gerakan ini mempunyai kolerasi (persamaan) di dalam memerangi bid’ah takhayul dan khurafat.

Namun demikian juga terdapat perbedaan yang mendasar di antara kedua jenis salafi ini;

  • Gerakan salaf di Mesir tidak menisbatkan diri kepada mazhab fiqh tertentu, sedangkan gerakan salaf di Saudi menisbatkan diri kepada mazhab Hambali.
  • Gerakan salaf di Mesir membuka diri dari peradaban barat termasuk dalam penampilan selama masih tidak bertentangan dengan syari'at, sedangkan gerakan salaf di Saudi umumnya bersikap menutup diri dari peradaban barat.

Selanjutnya, pengaruh "Salafi Mesir" menjadi sumber inspirasi kelompok atau organisasi massa umat Islam seperti Ikhwanul Musilimin di Mesir, Muhammadiyah, PKS, Persis dll di Indonesia.

Perampasan Istilah "Salafi"

Istilah salaf yang awalnya muncul di Mesir menjadi bergaung di Hijaz (Mekah-Madinah), seiring perjalanan waktu istilah salaf dirampas oleh sekelompok elit aliran wahabi yang mempunyai nalar black conspiration (konspirasi hitam) atau sau’u dzan, mereka selalu dihinggapi anggapan adanya konspirasi hitam dari masyarakat sekitar terhadap mereka, mereka terhasut seakan-akan masyarakat sekitar berusaha menyingkirkan mereka dari muka bumi, sehingga mereka berapi-api untuk menjadi musuh bagi orang-orang di sekitar mereka.

Dasar pemikiran mereka adalah menonjolkan kesombongan dan ujub, termasuk dalam hal penampilan dan berpakaian, implikasinya mereka meremehkan berbagai pendapat yang bertentangan dengan mereka, sesuatu yang zanni (belum pasti) bisa berubah menjadi sesuatu yang qath’i (pasti) dalam pandangan mereka.

Di antara karakter mereka adalah senantiasa menentang segala bentuk pembaharuan (tajdid) dalam agama, dengan alasan bahwa setiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap sesat itu tempatnya di neraka. Hal ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan maksud penisbatan salaf yang pertama kali dikumandangkan oleh Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir.

"Salafi" Menjadi Pengakuan Wajib

Lebih parah lagi golongan ini menjadikan pengakuan “salafi” sebagai pengakuan wajib, artinya umat Islam tidak cukup hanya mengaku sebagai ahlus sunnah wal jamaah jika belum menisbatkan diri kepada istilah salafi, contohnya dengan mengatakan; Aku adalah ahlus sunnah wal jamaah dengan manhaj salaf.

Penisbatan tersebut sebenarnya adalah akibat taqlid atas doktrin yang pernah diucapkan oleh syaikh al-Albani rahimahullah;

Kalau kamu berkata; Aku seorang muslim yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan as-sunnah. Ini belum cukup, karena seluruh pengikut kelompok dan golongan yang ada seperti asy’ariyah dan maturudiyah serta para hizbiyun juga mengklaim bahwa mereka adalah pengikut dua pokok utama tersebut, penamaan yang jelas, terang dan dapat membedakan kita dengan yang lain adalah; Aku seorang muslim yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan as-sunnah dan pemahaman salafus shalih, atau berkata secara ringkas; Aku adalah "salafi".”[5]

Perpecahan Salafi Saudi

Karena konsep dakwah yang keras akibatnya salafi Saudi dengan cepat terpecah ke dalam berbagai sempalan masing-masing mengklaim bahwa kelompok merekalah yang benar, sedangkan yang lain sesat. Secara garis besar salafi Saudi terbagi menjadi dua.

Pertama  salafi wahabi; adalah, golongan salafi yang menjadikan ulama’ Saudi sebagai rujukan utama dalam keilmuan, golongan ini paling anti dengan konsep jamaah wal imamah (umat Islam yang membentuk jamaah dan membaiat seorang imam), karena dalam anggapan mereka umat Islam yang membentuk jamaah adalah golongan hizbiyyun. Bagi mereka pemerintah di sebuah negara adalah imam bagi umat Islam, walupun pemerintah itu diangkat dengan konsep yang mereka anggap haram yaitu sistem demokrasi dan pemilihan umum. Hal ini disebabkan bahwa sejak awal syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama’-ulama’ Saudi yang menjadi penerusnya (termasuk syaikh Bin Baz dan syaikh al-Utsaimin) adalah ulama’ yang menjalin taat setia kepada keluarga kerajaan Saudi, sehingga telah menjadi doktrin di kalangan salafi wahabi bahwa pemerintah yang berkuasa di sebuah negara adalah imam bagi umat Islam di negara itu.

Kedua salafi irhabi (teroris) atau takfiri (mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka); adalah, golongan salafi yang menganut faham radikal, menganggap halal untuk melakukan tindakan irhab (terror) seperti pembunuhan, pengeboman dan tindakan-tindakan perusakan lainnya dengan tanpa pandang bulu, mereka bukan hanya memusuhi orang-orang non muslim bahkan merekapun mengkafirkan ulama’ dan umat Islam di luar kelompok mereka, termasuk ulama’ Saudi, menurut mereka pemerintah Saudi adalah rezim kafir, yang halal diperangi sehingga bagi mereka ulama’ Saudi adalah kacungnya orang-orang kafir. Yang termasuk golongan salafi irhabi ini adalah al-Qaeda, Jamaah Islamiyah dan lain-lainnya.

Antara Salafi dengan Islam Jamaah alias LDII

Selain dari dua jenis salafi tersebut, juga ada golongan yang posisinya tidak jelas; diantara salafi wahabi dan salafi irhabi. Golongan tersebut adalah yang dikenal sebagai Islam Jamaah dengan wadah organisasinya LDII. Kelompok ini secara keilmuan mengambil dari para ulama salafi wahabi. 
Namun dari sudut ideologi mereka lebih cenderung kepada salafi irhabi, indikasinya adalah mereka meyakini bahwa hanya mereka yang benar atau sah Islamnya. Dengan kata lain, antara kelompok Islam Jamaah dengan salafi, baik yang wahabi ataupun yang irhabi mempunyai DNA yang sama.

Selanjutnya, bagi Islam Jamaah, umat Islam di luar mereka adalah orang-orang kafir. Bahkan ulama Saudi yang notabene sumber ilmu mereka, juga mereka tuduh sudah tidak murni dan tidak sah Islamnya.

Hal ini dikarenakan pemimpin mereka hanya memanfaatkan ideologi takfiri dari salafi irhabi untuk mendoktrin para pengikutnya. Misi utama pemimpin kelompok ini adalah menguras harta pengikutnya, dengan cara mewajibkan para pengikutnya untuk infak sedikitnya 10% dari pendapatan mereka, bahkan orang-orang miskin diantara mereka, seperti golongan buruh, tukang becak dan seumpamnya, juga mereka wajibkan untuk infak, sedikitnya 2.5%.

Kelompok ini mendoktrin para pengikutnya yang rata-rata tidak menguasai ilmu agama untuk meyakini bahawa mereka adalah satu-satunya golongan yang paling beruntung, sebab hanya merekalah yang akan masuk surga selamat dari neraka. Dengan demikian, di samping ada persamaan antara kelompok ini dengan kelompok ISIS yang dari golongan salafi irhabi, namun juga ada perbedaannya.

Persamaannya: i) berakidah takfiri, termasuk di dalamnya adalah mereka menghukumi para pengikut yang keluar sebagai orang murtad yang halal harta dan darahnya. ii) para pemimpinnya tidak mempunyai pemahaman ilmu agama yang cukup dan benar. 


Perbedaannya: i) ISIS, ingin mendirikan daulah Islam dengan dipimpin khalifah. ii) Islam Jamaah atau LDII, sekalipun pada awalnya ingin melakukan hal yang sama (juga bertujuan mendirikan negara Islam), namun mereka takut akan ditindak oleh pemerintah sebagai pemberontak. Oleh karenanya mereka tidak memaksakan keinginan itu, namun mengalihkannya dengan mendoktrin kepada pengikutnya bahwa dengan bergabung di dalam Islam Jamaah maka para pengikutnya telah aman, sebab mempunyai imam walaupun secara rahasia. Di dalam keyakinan mereka, di dunia ini tidak ada, atau belum ada negara Islam. Bahkan Saudi Arabia pun tidak mereka anggap sebagai negara Islam. Buktinya adalah para pengikut mereka yang berada di Saudi tetap harus sambung dengan imam rahasai mereka itu di Indonesia, dan dilarang mengaji kepada para Ulama di Saudi dengan alasan ilmu mereka sudah tidak murni alias salah dan tidak sah.

Penutup

Pada hakikatnya penisbatan diri dengan manhaj salaf, adalah suatu bentuk ghuluw dalam berideologi. Hal itu hanya akan membuat para pelakunya merasa paling benar, paling nyunnah, bahkan sampai pada tahap takfiri. Korban ideologi ini adalah orang-orang awam yang ingin mencari kebenaran namun takdir baik tidak menyebelahi mereka.

Yang menyedihkan adalah, ada diantara mereka ada yang tidak menyadari; setelah sekian lama ia mengikuti kelompk yang berideologi ghuluw, kemudian ia "mendapat hidayah" meninggalkan kelompok itu berpindah pada komunitas kajian yang "tidak berkelompok". Namun, ternyata sebenarnya komunitas itu juga berideologi ghuluw. Ibarat keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.



[1] HR. Al-Bukhari (Kitab as-Syahadat) : 3/171.
[2] Beliau adalah Mufti Agung Mesir dari tahun 2003 hingga 2013.
[3] Ali Jum’ah, Menjawab Dakwah Kaum Salafi, (terj; Al-Mutasyaddiduun manhajuhum wa Munaaqasyatu ahammi Qadhayahum), Khatulistiwa, Jakarta, 2013, hal 3.
[4] Istilah wahabi ini sebenarnya  dibuat oleh orang-orang yang memusuhi atau membenci sepak-terjang syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikenal tidak mau berkompromi dengan amalan-amalan bid’ah, khurafat dan kepercayaan takhayul.
[5] Lihat; Amru Abdul Mun’im, Al-Manhaj as-Salafi Inda Syaikh Nasruddin al-Albani : 21.

Saturday, August 17, 2013

Antara Zakat Fitrah dengan Zakat Mal

Satu hal yang perlu ditinjau kembali dari amalan zakat fitrah adalah memaksakan pembahagian zakat fitrah mesti  kepada delapan ashnaf. Mereka berhujjah dengan aturan pembagian zakat mal yang difirmankan oleh Allah di dalam surah at-Taubah ayat 60 :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[1]

Sebenarnya konteks ayat tersebut khusus berkaitan dengan mustahiq bagi zakat mal selain zakat fitrah, sedangkan mengenai zakat fitrah Rasulullah Saw dengan tegas menyatakan bahwa tujuan zakat fitrah adalah untuk memberi makan kepada orang-orang miskin di samping untuk mensucikan orang-orang yang berpuasa dari lahan (perbuatan sia-sia) dan rafats[2].

خُذْ مِنْ أَمْوالِهِمْ صَدَقَةً، الآية.
Ambillah dari harta mereka shadaqah (zakat), dst.”[5]

Adapun zakat fitrah, diwajibkan oleh Rasulullah Saw sesuai dengan penjelasan hadits:
عَنِ ‏ابْنِ عُمَرَ، ‏‏قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ ‏صلى الله عليه وسلم ‏زَكَاةَ الْفِطْرِ، الحديث.
Dari Ibnu Umar Ra dia berkata Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah, dst.”[6]


Pensyariatan Zakat Mal dan Zakat Fitrah

1. Zakat mal, difardhukan oleh Allah di Madinah pada bulan syawal tahun kedua  hijriyah[7] namun menurut imam Ibnu Katsir sekalipun diwajibkan di Madinah, sebenarnya zakat telah diamalkan sejak periode Mekah (sebelum hijrah), hal ini dibuktikan dengan adanya ayat-ayat yang menyebut tentang zakat yang turun pada periode itu[8], diantaranya adalah;
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصادِهِ، الأية.
"Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).”[9]

2. Zakat fitrah, difardhukan oleh Rasulullah Saw di Madinah juga di tahun kedua hijriyah, namun sebelum diwajibkannya zakat mal oleh Allah, kewajiban zakat fitrah bersamaan dengan diwajibkannya kewajiban ibadah puasa Ramadhan.[10]


Muzakki (Orang Yang Dibebani Kewajiban Zakat)

1. Zakat mal, diwajibkan kepada para pemilik harta (orang-orang kaya) yang memenuhi kreteria mukallaf (dewasa dan sehat akalnya) yang hartanya telah masuk nishab dan sudah disimpan selama satu tahun (haul) kecuali zakat zuru’ (hasil tanaman) yang wajib didatangkan saat memetik buah dan dalam fiqh kontemporer ditambah dengan zakat profesi, yang zakatnya didatangkan saat menerima hasil profesinya.

2. Zakat fitrah, diwajibkan kepada semua orang Islam orang-orang, bahkan hamba dan anak-anak, walaupun tidak memenuhi kreteria mukallaf.


Tujuan Diwajibkan 

1. Zakat mal, diwajibkan untuk mensucikan harta dan membersihkan pelakunya dari berbagai dosa termasuk dosa menimbun harta;
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا، الآية.
Ambillah dari harta mereka shadaqah (zakat) yang dengannya kamu mensucikan dan membersihkan mereka dari dosa dst.”[11]

2. Zakat fitrah, diwajibkan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari rafats
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، الحديث.
Dari Ibnu Abbas dia berkata; Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai alat bersuci bagi orang yang puasa dar lahan dan raftas, dst.”[12]


Mustahiq (Orang Yang Berhak Menerima) 

1. Zakat mal, yang berhak menerima telah ditentukan oleh Allah langsung sebagaimana yang diatur di dalam surah at-Taubah ayat 60 di atas.

2. Zakat fitrah, yang berhak menerima ditetapkan oleh Rasulullah Saw yaitu orang-orang miskin.
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، الحديث.
Dan memberi makan kepada orang miskin.”[13]

Fakta-fakta di atas menjadi hujjatun balighah (hujjah yang terang) bahwa zakat fitrah sepenuhnya adalah hak fakir-miskin dan tidak boleh dibagikan kepada selain mereka, sekalipun masuk dalam golongan delapan ashnaf, Wallahu A’lam.




[1] QS. At-Taubah : 60.
[2] Rafats adalah ucapan atau perbuatan yang porno atau syahwat
[3] Lihat : Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, terj. Bhs. Indonesia hal 964.
[4] Mustahiq adalah orang yang berhak menerima zakat.
[5] QS. At-Taubah : 103.
[6] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kitab az-Zakah) : 2/130.
[7] Al-Zuhaili, Op.cit., h. 167.
[8] Ibnu Kasir, Ismail bin Umar, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998, jilid 5/403
[9] QS. Al-An’am (06) : 141.
[10] Lihat az-Zuhaili, Fiqh Islam wa adillatuhu, Jilid III, hal 349.
[11] QS. At-Taubah : 103.
[12] Abu Dwud, Sunan Abu Dawud (Kitab az-Zakah) : 2 : 111.
[13] Abu Dwud, Sunan Abu Dawud (Kitab az-Zakah) : 2 : 111.

Wednesday, August 14, 2013

Waktu Berbuka Bagi Musafir di Atas Pesawat


Soal: Mohon penjelasan berkaitan dengan waktu berbuka di pesawat, saat kami bepergian untuk melaksankan ibadah umrah di bulan Ramadan, pesawat kami berangkat dari Singapura petang hari (sekitar jam 15.00 waktu Singapura). Saat berbuka di Singapura adalah pukul 19.10, namun kami diberi tahu bahwa saat berbuka puasa di Jeddah sebagai airport destinasi adalah pukul 23.50. (waktu Singapura).

Ketika jam menunjukkan pukul 19.10 (waktu Singapura) saat itu pesawat kami  masih berada di wilayah yang matahari masih tinggi. Sebagian besar dari kami tetap meneruskan puasa hingga tiba di Jeddah, namun ada dua orang yang berbuka ketika jam menunjukkan tepat pukul 19.10 (waktu Singapura).

Yang menjadi persoalan adalah manakah yang lebih benar untuk diamalkan, tetap berpuasa hingga tiba di Jeddah ataukah berbuka sesuai dengan saat berbuka di Singapura ?

Jawab: Permasalahan yang terkandung di dalam pertanyaan anda ini adalah termasuk permasalahan fiqih kontemporer yang tidak akan dijumpai jawabannya di dalam  hasil ijtihad atau fatwa para ulama fiqih klasik. Dalam masalah  tersebut sebenarnya ada dua pilihan yaitu :

1. Membatalkan puasa, dan menqadha’nya setelah bulan Ramadhan sebab musafir adalah golongan yang secara tegas dinyatakan oleh Allah swt mendapat kemurahan untuk tidak berpuasa.

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ.
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”[1]

2. Berbuka pada saat jam menunjukkan waktu berbuka di Singapura sebagai tempat dia memulai berpuasa yaitu pukul 19.10 (waktu Singapura), hal ini sesuai dengan fatwa ulama bahwa orang yang tinggal di Negara yang terbit dan tenggelamnya matahari selama enam bulan sekali seperti di daerah kutub maka jadwal puasa dan shalat umat Islam di sana hendaklah mengikuti jadwal shalat dan puasa penduduk negeri terdekat yang terbit dan tenggelamnya matahari normal[2].

3. Adapun amalan tetap berpuasa dan berbuka di destinasi (hingga pukul 23.30 (waktu Singapura) adalah amalan yang tidak ada sandaran dalilnya walaupun banyak orang yang mengerjakan (ingat; jangan sekali-kali menyandarkan kebenaran dari  banyaknya orang yang melakukan) sebaliknya perbuatan tersebut mengandung beberapa kelemahan, sebab konsekwensi dari amalan ini antara lain adalah:

- Bertentangan dengan prinsip kemudahan yang dikehendaki oleh Allah swt :

يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”[3]

- Bertentangan dengan sunnah menyegerakan berbuka sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw :

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ».
Dari Sahl bin Sa’d, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Tidak henti-hentinya manusia di dalam kebaikan selagi mereka mensegerakan berbuka.”[4]

- Jika destinasi orang yang bepergian adalah ke Eropa maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia tidak berbuka hingga jam 02.00 (waktu Singapura) pagi keesokan harinya, sebab menunggu saat berbuka yaitu terbenamnya matahari, sedangkan matahari terus tidak terbenam, sebab “peredaran” matahari terus mengikuti perjalanan pesawat tersebut (ke arah barat).

- Jika destinasi orang yang bepergian tersebut adalah ke kutub utara, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia tidak berbuka hingga berbulan-bulan kemudian. Allahu a’lam




[1]  QS. Al-Baqarah : 184.
[2] Fatawa syaikh Bin Baz
[3] QS. Al-Baqarah : 185.
[4] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kitab as-Shaum) : 3/36.

Wasatiyyah Concept

Wasatiyyah is a moderate concept in Islamic practice. The word wasatiyyah is derived from the word wasatan (وسطا) found in the Qur'an...