Wednesday, July 31, 2013

Hukum Berpuasa Bagi Ibu yang Menyusukan Bayi


Soal: Mohon dijelaskan mengenai wanita hamil dan menyusui apakah jika mereka tidak berpuasa wajib mengqadha’ puasanya ? sebab saya confuse mengatakan wajib mengganti puasa dan juga membayar fidyah, namun juga ada yang mengatakan wajib mengganti dengan berpuasa saja, yang manakah yang benar ?

Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa dikenakan ketentuan membayar fidyah dan membayar puasa. Namun pendapat tersebut mempunyai kelemahan yang mendasar dan bertentangan dengan prinsip keadilan syari’ah;

- Pertama; Orang hamil atau menyusui tidak berpuasa bukan atas dasar suka-suka, mereka tidak berpuasa sebab adanya uzur (berkaitan dengan kesehatan dirinya dan bayi yang dikandungnya), sedangkan kaedah fiqh yang dibina oleh para ulama adalah; "Al-masyaqqah tajlibu at-taisir" (keadaan berat menarik datangnya kemudahan).

- Kedua; Sungguh tidak adil jika orang yang sengaja tidak puasa dengan tanpa uzur, hanya dibebani membayar hutang puasanya dengan tanpa dibebani fidyah.

Atau orang yang bepergian (di mana kondisi saat ini sangat nyaman sehingga tidak terasa berat), cukup dibebani membayar hutang puasa tanpa harus membayar fidyah.

Sedangkan wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasaa disebabkan adanya uzur, dikenai beban tambahan yakni membayar fidyah disamping wajib membayar hutang puasanya.

Yang Arjah (Paling Benar) Dalam Masalah Hukum Puasa Bagi Perempuan Hamil Dan Menyusui :

Pendapat saya, yang arjah (paling kuat dan benar) dan sesuai dengan dalil serta prinsip keadilan syari’at berkaitan dengan kewajiban perempuan hamil dan menyusui adalah; Mereka boleh tidak berpuasa dan sebagai gantinya salah satu dari dua pilihan berikut :

1. Membayar fidyah dengan tanpa harus berpuasa

Berdasar zahirnya ayat;

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ.
“Orang yang kuat berpuasa boleh tidak berpuasa dengan membayar fidyah memberi makan orang miskin.[1]

Walaupun secara umum ayat tersebut dimansuhkh dengan ayat berikutnya; “Siapa saja yang menjumpai bulan Ramadhan wajib berpuasa[2], namun ayat  tersebut tidak mansukh bagi empat golongan yaitu; orang lelaki tua, orang perempuan tua, wanita hamil dan menyusui, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}، قَالَ: «كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ، وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ، وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا، وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا».
Dari Ibnu Abbas “Dan atas orang-orang yang mampu berpuasa (boleh tidak berpuasa dan) membayar fidyah memberi makan kepada orang miskin”; Ayat ini adalah ruhshah (keringanan) bagi orang orang lelaki tua, orang perempuan tua, yang sebenarnya keduanya masih mampu berpuasa, mereka tidak berpuasa dan memberi makan kepada satu orang miskin sebagai gantinya puasa satu hari, demikian pula dengan wanita hamil dan menyusui”[3]

2. Membayar hutang puasanya dengan berpuasa, tanpa harus membayar fidyah;

Dalam hal ini kedudukan wanita hamil dan menyusui disamakan dengan; orang yang sakit atau bepergian, sebagaimana  maksud hadits di bawah ini :

عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ».
Dari Anas dari Nabi Saw beliau bersabda; Sesungguhnya Allah telah meletakkan (menghapus hukum wajib) dari musafir setengah shalat dan puasa dan dari perempuan hamil dan perempuan menyusui.[4]

Pendapat ini juga menjadi qaul (fatwa) sebagian ulama diantaranya adalah Hasan al-Bashri dan Ibrahim[5].

Wallahu A’lam




[1] QS. Al-Baqarah : 184.
[2] QS. Al-Baqarah : 185
[3] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Kitab as-Shaum) : 2/ 296.
[4] An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i (Kitab al-Jana’iz) : 4/180. Tahqiq Albani : Hasan.
[5] Lihat; Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kitab Tafsir al-Qur’an) : 6/25.

Friday, July 26, 2013

Hadits Mengenai Shalat Tasbih


Soal: Mohon dijelaskan tentang kedudukan hadits tentang shalat tasbih, sebab ada yang mengatakan bahwa shalat tasbih tidak boleh dikerjakan sebab haditsnya dhaif.

Jawab: Berikut ini adalah hadits tentang shalat tasbih yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud di dalam kitab haditsnya “Sunan Abu Dawud” :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: يَا عَبَّاسُ، يَا عَمَّاهُ، أَلَا أُعْطِيكَ، الحديث
Dari Ibnu Abbas; Sesungguhnya Rasulullah Saw berkata kepada Abbas bin Abdilmutthalib; Wahai Abbas, wahai paman, mahukah anda saya beri … ?, dst[1]

Hadits tentang shalat tasbih yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud di atas, berdasarkan penelitian para ulama’ ahli hadits (diantaranya syaikh Albani) bahwa kedudukannya adalah; shahih. Demikian pula dengan hasil penelitian saya sendiri atas kedudukan hadits tersebut maka menghasilkan kesimpulan yang sama.

Adapun yang selama ini tersiar berita bahwa hadits tentang shalat tasbih kedudukannya adalah maudhu’ (palsu) atau setidak-tidaknya dhaif, ini adalah berita yang tidak benar.

Memang benar bahwa Ibnu al-Jauzi (wafat 597 H) memasukkan hadits tentang shalat tasbih  dalam kitabnya “Al-Maudhu’at” dan digolongkan  sebagai hadist maudhu’ (palsu).

Namun yang menjadi objek penelitiannya bukanlah hadits tentang shalat tasbih riwayat Abu Dawud di atas melainkan riwayat ad-Daruquthni.[2]

Sehingga suatu kesimpulan yang sembrono dan tidak ilmiah jika kemudian dipukul rata bahwa semua hadits tentang tasbih kedudukannya dhaif atau bahkan palsu.

Lebih tidak ilmiah lagi ada yang beralasan bahwa kedhaifan hadits tentang shalat tasbih disebabkan pelaksanaannya nyleneh (aneh) atau berbeda dengan tatacara shalat secara umumnya, sebab tidak ada tasyahud awalnya.

Pendapat seperti ini adalah pendapat yang sangat tidak ilmiah dan sama sekali tidak dapat diterima dari sudut ilmu hadits (musthalah hadits), sebab untuk mendhaifkan atau mamaudhu’kan suatu hadits tidak bisa semata-mata bertumpu kepada isi matan hadits tersebut, melainkan lebih ditekankan kepada penelitian atas martabat para perawi di dalam sanadnya.

Jika kaifiyat atau tata-caranya yang dipermasalahkan karena berbeda dengan tata cara shalat pada umumnya, sehingga disimpulkan bahwa hadits tentang shalat tasbih semuanya dhaif atau maudhu’, maka bagaimanakah dengan;

-         Shalat istisqa’ (mohon hujan) yang setiap rakaatnya ada dua kali ruku’ ?
-         Shalat ied (hari raya) yang takbirnya hingga 7 dan 5 kali ?
-         Shalat jenazah yang tidak ada ruku’ dan sujudnya ?

Kesimpulannya : Berdasarkan tinjauan ilmu hadits, hadits tentang shalat tasbih riwayat Abu Dawud adalah hadits yang maqbul (dapat diamalkan) sebab kedudukannya shahih.



[1] HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Kitab as-Shalah) : 2/29, Tahqiq Albani; Shahih.
[2] Lihat; Ibnu al-Jauzi, al-Maudhu’at (Kitab as-Shalah) : 2/143.

Shalat Tasbih


A. Tatacaranya

Berikut ini tatacara shalat tasbih, yang diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada pamannya; Abbas bin Abdilmutthalib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Ra[1] yaitu;  Shalat empat rakaat dengan tanpa tasyahud awal, dengan pelaksanaan setiap rakaatnya sebagai berikut;

1. Qiyam (berdiri);  Setelah membaca al-Fatihah dan surah dilanjutkan dengan membaca kalimat tasbih;

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ.
Subhanallaahi walhamdulillaahi wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar.
Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah maha besar (dibaca 15 kali).

2. Ruku’ membaca kalimat tasbih tersebut sebanyak 10 kali

3. I’tidal (bangun dari ruku’) dengan mengucapkan; Sami’allaahu liman hamidah, Rabbanaa wa lakal hamd’, kemudian membaca kalimat tasbih tersebut 10 kali.

4. Sujud dan membaca tasbih tersebut 10 kali.

5. Duduk (diantara dua sujud) dan membaca tasbih tersebut 10 kali.

6. Sujud dan membaca tasbih tersebut 10 kali.

7. Duduk (sebelum berdiri untuk rakaat kedua) dan membaca tasbih tersebut 10 kali.

Sehingga di dalam setiap rakaat kalimat tasbih tersebut total dibaca sebanyak 75 kali.

Catatan : Sewaktu rakaat terakhir ketika duduk tasyahud, maka yang pertama dilakukan adalah membaca tasyahud dan shalawat kemudian membaca tasbih tersebut sebanyak 10 kali, setelah itu barulah salam.


B. Waktu Pelaksanaannya

Waktu pelaksanaannya boleh dikerjakan di pagi hari, siang hari, sore hari ataupun malam hari (selain di waktu-waktu larangan shalat). Boleh dilaksanakan setiap sehari sekali, atau seminggu sekali, atau sebulan sekali atau setahu
n sekali, atau seumur hidup-sekali.


C. Keutamaannya

Diampuni dosa-dosa ; yang awal dan yang akhir, yang lama dan yang baru, yang tidak disengaja dan yang disengaja, yang kecil dan yang besar serta yang samar ataupu yang terang terangan.



[1] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Kitab as-Shalah) : 2/29, Tahqiq Albani; Shahih.

Thursday, July 18, 2013

Qunut Witir Berjamaah



A. Doa Qunut Witir

«اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ».
Allahummah dinii fiiman hadaiit, wa ‘aafinii fiiman ‘aafaiit, wa tawallanii fiiman tawallaiit, wa baariklii fiimaa a’thaiit, waqinii syarra maa qadhaiit, fa innaka taqdhi walaa yuqdhaa ‘alaiik, wa innahu laa yadzillu man waalaiit, wa laa ya’izzu man’aadaiit, tabaarakta Rabbanaa wata’aalaiit.[1]

Riwayat at-Tirmidzi
Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits yang sama tentang doa qunut sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud di atas namun tidak ada lafaz;

وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
wa laa ya’izzu man’aadaiit.[2]

Penjelasan imam at-Tirmidzi
Hadits ini kedudukannya hasan, di dalam bab doa qunut ini juga terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib. Tidak dijumpai hadits mengenai doa qunut witir yang diriwayatkan dari Nabi saw yang lebih baik (kedudukan sanadnya) dibandingkan hadits ini. Para ahli ilmu (ulama’) berbeda pendapat di dalam pelaksanaan qunut;

  • Abdullah bin Mas’ud berpendapat bahwa qunut dilaksanakan sepanjang tahun, dia memilih untuk melakukan qunut sebelum ruku', hal ini menjadi qaul (pendapat) sebagian ahli ilmu seperti; Sufyan at-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, Ishaq dan para ulama’ Kuffah.
  • Ali bin Abi Thalib tidak melaksanakan qunut melainkan di (mulai) dalam pertengahan dari bulan Ramadhan (dari mulai malam ke-16 hingga malam akhir), sebagian ahli ilmu bermazhab atas amalan ini diantaranya adalah imam as-Syafii dan imam Ahmad.


B. Mengangkat Tangan Saat Doa Qunut

عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَجَهَرَ بِالدُّعَاءِ.
Dari Abi Rafi’ dia berkata; Aku shalat di belakang Umar bin Khatthab ra beliau qunut setelah rukuk dengan mengangkat kedua tangannya dan menjaharkan doa.”[3]

Penjelasan dari imam al-Baihaqi;
Berkata Qatadah; Hasan juga melakukan hal yang sama, hadits dari Umar ra ini adalah shahih sedangkan yang diriwayatkan dari Ali terdapat kedhaifan di dalam sanadnya, hadits ini juga diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah ra di dalam masalah qunut witir.

Syaikh (imam al-Baihaqi) rahimahullah berkata; Adapun mengusapkan kedua tangan ke wajah setelah selesai dari doa, aku tidak menghafadznya (mendengar) dari seorangpun golongan ulama salaf[4] di dalam doa qunut, namun hal itu diriwayatkan dari sebagian mereka di dalam masalah doa di luar shalat.

Telah diriwayatkan dari Nabi saw hadits di dalam masalah (mengusapkan kedua tangan ke wajah) ini namun kedudukan haditsnya dhaif.

Mengusapkan kedua tangan ke wajah diamalkan sebagian mereka di luar shalat, adapun di dalam shalat (setelah qunut) adalah amalan yang tidak berdasakan khabar (hadits) yang shahih maupun atsar (amalan shabat) yang tsabit, dan juga tidak berdasarkan qiyas, maka yang lebih utama adalah tidak mengerjakannya serta berpegang atas apa yang dikerjakan oleh ulama’ salaf  radiallahu ‘anhum berupa mengangkat tangan dengan tanpa mengusapkannya ke wajah di dalam shalat, wa billahi at-taufiq.


C. Praktek Qunut Di dalam Shalat Berjamaah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ.
Dari Ibnu Abbas radiallaahu’anhuma dia berkata; Rasulullah sallallaahu alihi wasallam qunut selama satu bulan di dalam shalat dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh setiap setelah shalar, ketika telah mengucapkan sami’allahu liman hamidah di dalam rakaat yang terakhir, beliau mendoakan jelek atas beberapa penduduk negeri dari kaum Bani Sulaim terdiri dari Ri’lin, Dzakwan dan ‘Ushayyah. Orang-orang yang dibelakangnya mengaminkannya.[5]

Catatan : Di dalam qunut witir berjamaah ini maka kalimat doa qunut yang dibaca oleh imam dan diamini oleh makmum dirubah dari bentuk mufrad (tunggal) menjadi jama’ contoh, asalnya;

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ ...،
Allahummah dinii fiiman hadaiit …,

Menjadi;

اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ ...،
Allahummah dinaa fiiman hadaiit …,

Barokallahu fiikum …




[1] HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Kitab as-Shalat) : 2/63. Tahqiq syaikh Albani; Shahih.
- Arti doanya adalah; “Ya Allah tunjukkanlah aku ke dalam golongannya orang-orang yang mendapat petunjuk, selamatkanlah aku ke dalam golongannya orang-orang yang Engkau selamatkan, lindungilah aku ke dalam golongannya orang-orang yang Engkau lindungi, barakahilah aku di dalam apa yang Engkau berikan, jagalah aku dari jeleknya apa yang Engkau putuskan, sesungguhnya Engkau memutuskan hukum dan tidak ada yang memutuskan hukum ke atasMu, tidak akan hina orang yang Engkau lindungi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi, maha barakah Engkau wahai Tuhan kami dan Engkau maha luhur.
[2] Lihat; HR. At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi (Abwabu al-Witri) : 2/328.

[3] Hr. Al-Baihaqi, Musnad al-Kubra (Kitab as-Shalat) : 2/300.
[4] Ulama salaf adalah ulama dari generasi; sahabat, tabiin dan tabiit tabiin.
[5] HR. Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra (Kitab as-Shlah) ; 1/301.

Wednesday, July 17, 2013

Thawaf di Baitullah


Soal: Mohon dijelaskan rangkaian ibadah thawaf di Baitullah dan apakah orang yang thawaf harus memakai pakaian ihram ?

Jawab: Thawaf adalah ibadah berupa berjalan mengelilingi Baitullah (Ka’bah), terdapat lima syarat ibadah  thawaf, yaitu; Menutup aurat, keadaan suci dari hadats, berjalan mengelilingi Ka’bah tujuh putaran, shalat di belakang maqam Ibrahim.

1.  Menutup Aurat

Ketika thawaf diwajibkan memakai pakaian yang menutup aurat, tidak ada ketentuan (aturan) bahwa orang yang thawaf harus mengenakan pakaian ihram, melainkan thawaf untuk umrah atau haji.

2. Suci Dari Hadats

Dikarenakan Ka’bah terletak di tengah-tengah Masjidil Haram, maka orang perempuan yang haid atau nifas terhalang dari mengerjakan thawaf[1]. 

Selain itu syarat bagi orang yang mengerjakan thawaf harus dalam keadaan suci dari hadats (berwudhu’), namun hukum berwudhu’ dalam mengerjakan thawaf yang shahih adalah sunnah muakkadah, artinya tidak sampai pada hukum wajib.[2]

3. Berjalan mengelilingi Ka’bah tujuh putaran

Ketika akan masuk kawasan Masjidil Haram, untuk mengerjakan thawaf di Baitullah (Ka’bah), disunnahkan membaca doa masuk Masjid; ”Bismillaahi was salaamu ’ala Rasuulillahi Allahummaghfirli dzunuubi waftahlii abwaaba rahmatik.”[3]

Ketika telah memasuki kawasan Masjidil Haram dan kemudian dapat memandang Ka’bah maka disunnahkan membaca doa;

اللَّهُمَّ زِدْ بَيْتَكَ هَذَا تَشْرِيفًا، وَتَعْظِيمًا، وَتَكْرِيمًا، وَبِرًّا، وَمَهَابَةً، وَزِدْ مَنْ شَرَّفَهُ، وَعَظَّمَهُ مِمَّنْ حَجَّهُ أَوِ اعْتَمَرَهُ تَعْظِيمًا، وَتَشْرِيفًا، وَتَكْرِيمًا، وَبِرًّا، وَمَهَابَةً.
“Wahai Allah tambahlah untuk rumahMu ini; kemasyhurannya, keagungannya, kemuliaannya, kebaikannya dan kewibawaannya, dan juga tambahkanlah bagi orang yang memasyhurkannya dan mengagungkannya terdiri dari orang yang haji atau umrah; keagungan, kemuliaan, kebaikan dan kewibawaannya.” [4]

Thawaf dilakukan dengan berjalan kaki berputar mengelilingi Ka’bah dari mulai hajar aswad menuju hajar aswad lagi, dengan posisi Ka’bah berada di sebelah kiri, diulang hingga tujuh kali, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang yang thawaf:

Mencium hajar aswad atau mengusap atau isarah ke arahnya;
Thawaf dimulai dari hajar aswad, dengan tiga pilihan; menciumnya atau mengusapnya atau isarah ke arahnya[5], sambil mengucapkan; Bismillaahi wallaahu akbar.

Salah-satu perkara penting yang harus diperhatikan, adalah; Jangan sampai kita melakukan perkara yang haram yaitu menyakiti orang lain dengan mendorong atau menyikutnya hanya semata-mata untuk melakukan sesuatu yang sunnah yaitu mencium hajar aswad, sesuai dengan pesan Rasulullah saw kepada Umar bin Khattab ra; ” Wahai Umar, sesungguhnya kamu adalah lelaki yang kuat, janganlah kamu berdesakan untuk (mencium) hajar aswad sehingga kamu menyakiti orang yang lemah, jia kamu menjumpai lowongan maka ciumlah tapi jika tidak cukup menghadaplah (ke arah hajar aswad) kemudian bertahlil dan bertakbirlah.”[6]

Raml (Lari Kecil) Tiga Putaran Di dalam Thawaf Qudum; Ketika melaksanakan thawaf untuk umrah yang juga merupakan thawaf qudum, maka pada tiga putaran pertama disunnahkan untuk raml (lari kecil), sedangkan empat putaran berikutnya jalan kaki biasa.[7]

Menyedikitkan berbicara di dalam thawaf : Ketika thawaf hendaknya tidak berbicara yang tidak bermanfaat, sebaliknya disunnahkan untuk memperbanyak dzikir.[8]

Adapun lafaz dzikir di dalam thawaf diperselisihkan di kalangan ulama’, syaikh Bin Baz menyatakan: Disunnahkan ketika thawaf memperbanyak dzikir dan doa kepada Allah. Baik juga sekiranya membaca beberapa surat atau ayat dari al-Qur’an. Di dalam thawaf ini dan thawaf-thawaf lainnya demikian juga di dalam sa’i, tidak ada dzikir khusus maupun doa khusus yang wajib. Adapun penentuan dzikir maupun doa pada setiap putaran thawaf maupun sa’i, seperti yang dibuat oleh sementara orang, tidaklah berdasar (tidak ada dasar haditsnya yang shahih)[9].

Catatan :
-  Ketika melalui hijir Ismail dilarang melewati celahnya sebab hijir Ismail termasuk bagian dari Ka’bah.[10]

-  Ketika sampai sudut rukun yaman maka mengusap rukun yaman (jika mampu).[11]namun jika tidak mampu mendekat maka cukup berjalan biasa sambil mengucapkan: “Rabbanaa aatinaa fiddunia hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa adzaabannaar.” Tidak disunnahkan untuk isarah ke arahnya.

4. Shalat Di Belakang Maqam Ibrahim

Setelah selesai thawaf (mengelilingi) Ka’bah sebanyak tujuh putaran maka dilanjutkan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim.[12]

Disunnahkan sebelum shalat terlebih dahulu membaca ayat:

أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ،  وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
“Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang direjam; Dan jadikanlah sebagian dari maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.”[13]

Selanjutnya di dalam shalat dua rakaat tersebut membaca surah al-Fatihah dan surah al-Kafirun di dalam rakaat yang pertama sedangkan rakaat kedua membaca surah al-Fatihah dan surah al-Ikhlash[14].

Selesai shalat bisa langsung bubar[15] atau duduk sejenak untuk berdoa mohon apa saja yang menjadi hajatnya dalam hal kebaikan dunia akhirat, atau bisa juga berdoa dengan doanya Nabi Adam as:

اللَّهُمَّ أَنْتَ تَعْلَمُ سِرِّي وَعَلاَنِيَتِي فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِي، وَتَعْلَمُ حَاجَتِي فَأَعْطِنِي سُؤَالِي، وَتَعْلَمُ مَا عِنْدِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، أَسْأَلُكَ إِيمَانًا يُبَاهِي قَلْبِي، وَيَقِينًا صَادِقًا حَتَّى أَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَنِي إِلاَّ مَا كَتَبْتَ لِي، وَرَضِّنِي بِقَضَائِكَ.
“Wahai Allah Engkau tahu rahasiaku dan zahirku maka terimalah alasanku, dan Engkau tahu hajatku maka berikanlah kepadaku permintaanku, Engkau tahu apa-apa (kelemahan) yang ada padaku, maka ampunilah dosa-dosaku, aku mohon padaMu keimanan yang memenuhi dadaku dan keyakinan yang benar sehingga aku dapat memahami bahwa tidak ada yang menimpa padaku melainkan apa yang telah Engkau tulis untukku dan buatlah aku ridha terhadap kepastianMu .”[16]

Setelah selesai sholat dua rakaat di  maqam Ibrahim ini berarti usailah ibadah thawaf. Adapun pahalanya orang yang mengerjakan thawaf adalah;

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُول اللهِ صل الله عليه وسلم يَقُولُ: مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ، وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، كَانَ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ.
”Dari Abdullah bin Umar dia berkata; Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda; Barang siapa yang thawaf di Baitullah dan sholat dua rakaat maka (pahalanya) sebagaimana memerdekakan seorang hamba.”[17]

Selamat mengerjakan.



[1] HR. At-Tirmidzi : 3/273. Abu 'Isa berkata; "Hadits ini merupakan hadits hasan gharib melalui sanad ini."
[2] Jika seseorang batal wudhu’nya di saat dia sedang mengerjakan thawaf maka ada dua pendapat: Pertama; Teruskan thawaf sehingga selesai, namun jangan shalat di arahnya maqam Ibrahim sehingga berwudhu’ terlebih dahulu[2].
Kedua; Hentikan thawaf dan segera berwudhu’ selanjutnya meneruskan thawaf dari tempat dia batal wudhu’, hal ini kedudukannya sama dengan orang yang sedang mengerjakan thawaf tiba-tiba dikumandangkan qamat, maka dia menghentikan thawafnya untuk mengikuti shalat fardhu berjamaah, setelah itu dia melanjutkan thawafnya tanpa harus mengulang thawafnya dari putaran awal.
[3] Artinya : ”Dengan nama Allah, semoga kesejahteraan tetap atas utusan Allah, wahai Allah ampunkanlah dosa-dosaku dan bukakanlah pintu-pintu rahmatMu untukku.” HR. Ibnu Majah : 1/253. Tahqiq syaikh Albani : Shahih.
[4] HR. At-Thabrani “Mu’jam Al-Ausath” : 6/183.
[5] Jika mampu, maka usahakan untuk menciumnya, namun jika keadaan tidak memungkinkan untuk mencium maka cukup menyentuhnya, jika keadaan berdesakan sehingga tidak mampu mendekat ke hajar aswad cukup dengan isarah (mengangkat tangan) ke arah hajar aswad.
[6] HR. Ahmad : 1/321.
[7] Dalam hal raml ini terdapat dua pendapat yang berbeda di kalangan sahabat : Pendapat pertama; Lari kecil tiga putaran pertama utuh dari hajar aswad ke hajar aswad, tidak berhenti melainkan untuk menyentuh rukun yaman dan hajar aswad, pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh: Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair dan Jabir, salah satunya adalah hadits; “Dari Jabir sesungguhnya Nabi saw lari kecil dari hajar aswad ke hajar aswad, bab ini juga diriwayatkan oleh Muslim (2 : 912) dari Ibnu Umar.” Pendapat kedua: Lari kecil tiga putaran hanya dari hajar aswad ke rukun yaman, selanjutnya dari rukun yaman ke hajar aswad berjalan biasa pendapat ini diperkuat oleh Thawus, ’Atha’, al-Hasan, Said bin Jubair berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Jumhur ulama termasuk empat imam memilih pendapat pertama sebab pendapat pertama berdasarkan hadits tentang thawaf qudumnya Rasulullah saw saat haji wada’ (tahun 10 H) adapun pendapat kedua berdasarkan hadits tentang thawaf qudumnya Rasulullah saw saat umrah qadha’ (tahun 7 H) sedangkan jika dijumpai terdapat dua sunnah Rasulullah yang berbeda, maka yang diambil adalah yang paling akhir dari keduanya.
[8] HR. An-Nasa’i : 5/222. Tahqiq syaikh al-Albani : Shahih.
[9] Bin Baz, Syaikh,  “At-Tahqiq Wa Al-Idhah” hal. 68
[10] HR. Ibnu Majah : 2/985. Tahqiq syaikh al-Albani : Shahih.
[11] HR. An-Nasai : 5/231. Tahqiq syaikh Albani : Hasan.
[12] HR. Al-Bukhari : 2/150
[13] QS. Al-Baqarah : 125. Artinya :
[14] HR. An-Nasai : 5/236. Tahqiq syaikh Albani : Shahih.
[15] Ini yang paling shahih sesuai dengan apa yang senantiasa dilaksanakan oleh Rasulullah saw dan para sahabat, mereka setelah selesai sholat langsung berdiri menuju hajar aswad, tanpa duduk untuk berdoa, sehingga lebih disenangi jika berdoanya adalah di dalam shalat yakni sebelum salam. Allahu a’lam.
[16] HR. At-Thabrani “Ad-Da’awah al-Kabir” : 1/352.
[17] HR. Ibnu Majah : 2/985. Tahqiq syaikh Albani : Shahih.

Wasatiyyah Concept

Wasatiyyah is a moderate concept in Islamic practice. The word wasatiyyah is derived from the word wasatan (وسطا) found in the Qur'an...