Wednesday, June 26, 2013

Mandi Janabah



عَنْ مَيْمُونَةَ «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْتَسَلَ مِنَ الجَنَابَةِ، فَغَسَلَ فَرْجَهُ بِيَدِهِ، ثُمَّ دَلَكَ بِهَا الحَائِطَ، ثُمَّ غَسَلَهَا، ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ غَسَلَ رِجْلَيْهِ».
Dari Maimunah (isteri Nabi saw); Sesungguhnya Nabi saw mandi dari janabah; beliau membasuh kemaluannya dengan tangan, kemudian tangan tersebut digosokkan ke tembok (untuk membersihkan tangan tersebut dengan debu atau tanah yang terdapat pada tembok), kemudian mencuci tangan tsb, kemudian berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk shalat, ketika telah selesai dari mandinya beliau mencuci kedua kakinya.”[1]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ، ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ يُخَلِّلُ رَأْسَهُ بِأَصَابِعِهِ حَتَّى إِذَا خُيِّلَ إِلَيْهِ أَنَّهُ قَدِ اسْتَبْرَأَ الْبَشَرَةَ غَرَفَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ».
“Dari Aisyah (isteri Nabi saw) dia berkata; Rasulullah saw ketika mandi dari janabah; beliau membasuh kedua tangan, kemudian berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk shalat, kemudian menyela-nyelakan jari-jarinya ke kepala, sehingga ketika beliau merasa bahwa beliau telah menyegarkan kulit (kepalanya) maka beliau menyiram kepalanya tiga kali, kemudian beliau membasuh seluruh tubuhnya.”[2]

Dari dua hadits yang diriwayatkan oleh dua orang ummul mukminin (Aisyah dan Maimunah radiallahu anhuma) di atas dan hadits-hadits shahih yang lainnya dapat kita simpulkan bahwa tatacara mandi janabah adalah;

  1. Niat, artinya di dalam hati harus ada kesengajaan bahwa mandi yang dilakukannya adalah mandi untuk mensucikan diri dari keadaan janabah, sebab tanpa niat walaupun mandi hingga seratus kali dan 100x lebih bersih, namun secara syariat itu belum dianggap membersihkan diri dari keadaan janabah, berdasarkan hadits “Sesungguhnya amal hanyalah dengan niat”.[3]
  2. Membersihkan kemaluan, hal ini juga berlaku bagi wanita yang akan mandi dari haidh ataupun nifas.
  3. Mencuci tangan.
  4. Berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk shalat.
  5. Mandi dengan diawali menyela-nyelakan jari-jari tangan ke kulit kepala hingga terasa segar, kemudian barulah meratakan air keseluruh badan termasuk menggunakan shampo dan sabun (bila perlu).

Seperti itulah mandi janabah yang dicontohkan Rasulullah Saw yang membersihkan diri kita dari segala jenis hadats baik hadats besar maupun hadats kecil. Jika seseorang setelah mandi janabah dan dia tidak hadats (buang angin ataupun buang air) maka boleh langsung mengerjakan shalat dengan tanpa berwudhu’ lagi.




[1] HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kitab al-Ghusli) : 260
[2] HR. An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i (Kitab al-ghusli wa at-tayammum) : 423.
[3] HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.


Tuesday, June 25, 2013

YAS'ALUNAK

HUKUM PUASA RAMADHAN BAGI MUSAFIR YANG MENETAP BEBERAPA HARI DI DESTINASI PERJALANANNYA

Soal : Ustaz di dalam bulan Ramadhan saya mendapat tugas selama tiga minggu di luar negara, apakah selama di luar negara itu saya boleh berpuasa dan menqashar shalat ? dan apakah saya wajib melaksanakan shalat jumat ?

Jawab : Mengenai qasahr shalat tidak diragukan lagi bahwa selama masih berstatus musafir anda diperbolehkan untuk mengqashar shalat, berdasarkan dalil;
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا قَالَتْ: «فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ»
“Dari Aisyah isteri Nabi saw, sesungguhnya dia berkata; Shalat (fardhu) saat pertama diwajibkan adalah hanya dua rakat saja baik di rumah maupun di dalam bepergian, kemudian (dua rakaat tersebut) ditetapkan untuk shalat dalam keadaan safar (bepergian) dan ditambah untuk shalat di rumah.” HR. Muslim (K. Shalah al-musafirin wa qashriha) : 685.

Demikian pula dengan shalat jumat sebagai musafir anda tidak terkena kewajiban shalat jum’at.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ»
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw, beliau bersabda; Tidak ada kewajiban shalat jum’at bagi musafir.” HR. Ad-Daruquthni (K. Shalah) : 1582.

Adapun mengenai puasa maka melihat situasi di tempat anda bertempat, dan jenis pekerjaan anda, jika di tempat itu anda mendapat kemudahan-kemudahan layaknya di rumah sendiri, seperti kemudahan tempat tinggal, kemudahan tersedianya bahan makanan dsb, termasuk jadwal kerja dan jenis pekerjaan yang tidak terlalu berat seumpama pekerjaan di negeri sendiri maka tidak syak lagi bahwa anda tetap wajib melaksanakan puasa dengan beberapa sebab :

1. Siapa saja mukallaf (orang Islam yang balligh dan berakal) yang dalam kondisi mampu menjumpai bulan Ramadhan maka dia berkewajiban berpuasa, berdasarkan firman Allah;
" فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ"
Barang siapa di antara kalian yang menjumpai bulan Ramadhan maka dia hendaklah (wajib) berpuasa.” QS. Al-Baqarah : 185.

2. Uzur yang membolehkan seorang mukallaf untuk tidak berpuasa adalah jika adanya perkara-perkara yang membuat dia tidak mampu untuk melaksanakan puasa tersebut, seperti usia tua, wanita hamil, wanita yang menyusui, orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian. Di dalam kasus orang yang bepergian Allah menyebutnya dengan istilah;au alaa safar (atau atas keadaan safar), Oleh imam Ibnu Katsir dijelaskan maksudnya adalah;fi haalati as-safar” (saat masih diperjalanannya). Hal ini dikarenakan beratnya perjalanan itu, bukan ketika sudah bertempat di destinasi perjalanannya.” QS. Al-Baqarah : 185.

3. Tujuan Allah memberi keringanan bagi musafir untuk tidak bepuasa karena Allah ingin memberi kemudahan bagi kita umat Islam yang sedang dalam bepergian agar tidak terbebani kewajiban yang diluar kemampuan, dalam hal ini Allah berfirman;
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Allah tidak menghendaki kesukaran dan (diberi kesempatan membayar puasa Ramadhan di bulan lain itu) agar kalian tetap dapat menyempurnakan hitungan puasa.” QS. Al-Baqarah : 185.

Bukan untuk ifrath (memudah-mudahkan urusan agama) atau taladzudz (mencari kelezatan semata).

4. Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa, bulan yang Allah memerdekakan beberapa orang dari ancaman api neraka maka sungguh rugi jika kita mencari-cari alasan untuk tidak berpuasa sedangkan kita mampu untuk melakukannya, mengenai keistimewaan bulan Ramadhan tercermin dari hadits di bawah ini ;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَللهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ"
Dari Abi Hurairah ra dia berkata, Rasulullah saw bersabda; Ketika msauk awal malam bulan Ramadhan, maka setan-setan dan jin yang liar diikat, pintu-pintu neraka dikunci sehingga tidak ada satupun pintunya yang terbuka, pintu-pintu surga dibuka sehingga tidak ada satupun pintunya yang terkunci, dan ada orang (Malaikat) yang berseru; Wahai pencari kebaikan kemarilah dan wahai pencari kejelekan (maksiat) berhentilah, dan (di bulan Ramadhan) Allah memerdekakan orang-orang (tertentu) dari neraka, demikian itu setiap malam.” HR. At-Tirmidzi : (Abwabu as-Shaum) : 682. Tahqiq al-Albani : Shahih.

Namun jika tugas anda di luar Negara tersebut tidak didukung dengan kemudahan-kemudahan yang memungkinkan anda untuk berpuasa ditambah lagi dengan jenis pekerjaan yang berat maka anda termasuk musafir yang mendapat rukhshah (kemurahan) untuk tidak berpuasa.

Jika merujuk fatwa para ulama’ mutaqaddimin dan kitab-kitab fiqih klasik memang kita jumpai umumnya mereka membolehkan orang yang berstatus musafir untuk tidak berpuasa selama belum kembali ke rumahnya.

Hal ini kemudian disalah-fahami oleh segelintir orang yang senang bertafrith di dalam urusan agama, sebagai contoh ada satu keluarga dari sebuah pesantren di Indonesia yang sengaja holiday ke Singapura, di Singapura mereka menginap di tempat penginapan yang layak dengan fasilitas cukup baik dan oleh tuan rumah disediakan makan dan minuman untuk sahur dan berbuka.

Namun sungguh menyedihkan selama beberapa hari di Singapura mereka sengaja tidak berpuasa, karena menurut mereka sebagai musafir mereka mendapat kemurahan untuk tidak berpuasa, sehingga mereka bisa enjoy shopping di Orchard road, menghabiskan hari dari pagi hingga petang di Universal studio, Siloso Beach Sentosa dll.

Sungguh fenomena yang sangat menyedihkan, sebab ini bisa menjadi sunnah sayyi’ah (contoh yang buruk), bayangkan jika sebagian besar umat Islam kemudian memilih bulan Ramadhan untuk Holiday, ada yang ke Eropa, ada yang ke Amerika, Korea, Thailand dsb dan umumnya mereka tidak berpuasa karena berpegang atas fatwa para ulama tempo dulu serta kitab-kitab fiqih klasik maka apa jadinya dengan umat Islam di masa mendatang ? tidak menutup kemungkinan jika kemudian Ramadahan hanya dikenal sebagai salah satu dari nama bulan-bulan Islam saja, tanpa ada amalan puasanya, wa al-iyadzu billah.

Para ulama terdahulu tidak salah ketika memberi fatwa seperti itu, bahwa musafir walaupun sudah beberapa hari menetap di destanasinya mendapat  kemurahan untuk tidak berpuasa, disebabkan situasi pada saat itu umumnya musafir akan menjumpai kesulitan-kesulitan yang banyak berkaitan dengan tempat tinggal, keperluan makan minum dsb, sekalipun dia bertempat di destinasi perjalanannya itu.

Berbeda dengan situasi sekarang yang walaupun tidak di rumah sendiri, seorang musafir walaupun di luar Negara namun pada umumnya menjumpai kemudahan-kemudahan layaknya di rumah sendiri, seperti tinggal di hotel atau tinggal (menginap) di rumah teman atau saudara yang memungkinkan tersedianya kemudahan-kemudahan seperti di rumah sendiri.


Termasuk bagi orang yang melaksanakan ibadah umrah di bulan Ramadhan yang umumnya tinggal di hotel dan mendapat fasilitas serta kemudahan jauh lebih baik daripada di rumah sendiri maka tidak syak lagi bahwa dia tetap wajib melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Wallahu a’lam.

Sunday, June 23, 2013

BAHAYA PUJIAN

Bagi yang tidak berhati-hati dan tidak kuat iman, akan banyak kerusakan yang timbul, bila sudah diperbudak dan mabuk pujian.


Seperti orang yang mabuk; berpikir, berbicara, bersikap dan mengambil keputusan dengan tidak normal.


Hati akan kehilangan keikhlasan, mudah tersinggung dan sakit hati bila orang tidak memuji atau memperlakukannya tidak sesuai dengan harapan.

Setiap hari sibuk membangun "kemasan" (topeng) demi penilaian orang, walau harus menanggung resiko yang berat.

Hubungan dengan Allahpun semakin terhijab (terhalang). Walaupun banyak ilmu agamanya dan rajin ibadahnya, karena di hatinya bukan Allah tujuannya, melainkan sanjungan dan pujian manusia.

Dalam Hadits shahih diriwayatkan suatu ketika seorang sahabat memuji kawannya secara langsung, maka Rasulullah Saw bersabda: "Kamu telah memenggal leher saudaramu dengan tanpa pisau (pujianmu itu sebenarnya telah membunuh keikhlasannya." HR. Al-Bukhari Dan Muslim.

Banyak orang ingin dipuji; karena ilmunya, karena parasnya yang elok (ganteng atau cantik), karena kedudukannya, karena kekayaannya dan sebagainya, tanpa mereka sadar bahwa keinginan atas pujian itu adalah sebab kebinasaan.


Maka berhati-hatilah saudara-saudaraku terhadap pujian,orang bijak mengatakan; Kata PUJIAN jika dibuang huruf "P"nya maka menjadi; UJIAN. itulah hakikat bahwa sesungguhnya PUJIAN adalah UJIAN bagi keikhlasan.

Saturday, June 22, 2013

DR. Yusuf al-Qaradhawi : Mengapa Mereka Lebih Maju Dibandingkan Kita ???

QOLBUN SALIM

Mengendalikan Diri Sendiri

Ada dua orang ibu (sebut saja Ibu A dan ibu B) memasuki sebuah took pakaian karena mau membeli baju. Ternyata pelayan toko tersebut sedang bad mood sehingga melayani dengan tidak baik, terkesan acuh tak acuh, tidak sopan dan bermuka masam.

Ibu A merasa tersinggung menerima layanan yang buruk seperti itu, tapi anehnya ibu B tetap enjoy, bahkan tersenyum ramah dan bersikap sopan kepada si penjual tersebut.

Ibu A bertanya; Mengapa ibu bersikap demikian ramah dan sopan kepada si penjual yang sombong lagi menyebalkan itu ? Jawab ibu B; “Sebab saya tidak ingin dia mengendalikan diri saya…, kitalah yang seharusnya mengendalikan diri kita sendiri bukan dia atau orang lain.”

Kata ibu A lagi; “Tapi bukankah dia telah melayani kita dengan buruk sekali ?.” jawab ibu B; “Itu masalah dia, kalau dia mau bad mood, bersikap tidak sopan, melayani kita dengan buruk dan lain-lain, toh itu tidak ada kaitannya dengan kita.

Kalau kita sampai terpengaruh, kemudian juga bersikap tidak sopan, berarti kita telah membiarkan dia mengatur dan mengendalikan hidup kita, padahal kitalah yang harus bertanggung-jawab atas diri kita sendiri, jelas ibu B.

Moral Of The Story :

Kalau orang lain bersikap buruk terhadap kita biasanya kita akan membalasnya dengan hal yang buruk juga dan sebaliknya, kalau orang bersikap tidak sopan kepada kita maka kita akan membalas dengan bersikap lebih tidak sopan lagi. Kalau orang lain pelit kepada kita, maka kita yang semula pemurah (dermawan) tiba-tiba menjadi pelit karena membalas perbuatan orang tersebut. Itu semua berarti tindakan kita dipengaruhi atau dikendalikan oleh orang lain.

Mari kita renungkan; Sungguh tidak arif perbuatan seperti itu, mengapa untuk berbuat baik saja harus menunggu orang lain berbuat baik terlebih dahulu kepada kita ?

Oleh karenanya jagalah suasana hati kita dan kendalikanlah diri kita sendiri, jangan biarkan sikap buruk orang lain menentukan cara kita bertindak ! kitalah yang bertanggung jawab atas hidup kita, bukan orang lain.

Diri kita terlalu berharga untuk dikendalikan oleh orang lain,  oleh sebab itu maksimalkanlah kehidupan kita untuk berbuat baik kepada orang lain; Make yourself have a meaning for others.


The real winner di dalam kehidupan ini adalah orang yang tetap sejuk di tempat yang panas, yang tetap manis di tempat yang sangat pahit, yang tetap merasa kecil meskipun telah menjadi besar dan tetap tenang di tengah badai yang paling hebat.

Mazhab dan Sejarah Timbulnya

ِA. Pendahuluan

Salah satu isu yang senantiasa mengundang kontroversi dan perdebatan hangat di kalangan umat Islam adalah pembicaraan mengenai mazhab. Di dalam urusan hukumnya “bermazhab” umat Islam terbagi ke dalam berbagai pendapat;

Diantara mereka ada yang meyakini wajib bermazhab, sehingga seolah-olah orang yang tidak bermazhab tidak sah Islamnya, ada yang meyakini hanya mazhabnya saja yang benar sedangkan mazhab yang lain salah atau sesat, ada yang meyakini tidak wajib bermazhab, namun juga ada yang sama sekali yang tidak tahu-menahu tentang mazhab.

Mereka yang berkeyakinan akan wajibnya umat Islam bertaqlid kepada salah satu imam mazhab, berhujjah dengan firman Allah s.w.t”Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” QS. An-Nahl : 43, dan Al-Anbiya’ : 7.

Mereka juga berhujjah menggunakan hadits Nabi s.a.w“Mengapa ketika mereka tidak tahu mereka tidak mau bertanya, bukankah obat kebodohan itu bertanya ? .“ HR. Abu Dawud : 1/93.

Padahal maksud dari firman Allah dan sabda Rasulullah Saw di atas hanya perintah kepada kita agar ketika kita tidak tahu hendaklah bertanya kepada “ahli adz-dzikr” (ulama’), tanpa memerintahkan kita untuk bertaqlid apalagi ta’ashub kepada ulama atau imam mazhab tertentu.

Tidak bermazhab bukan berarti kita menolak sama sekali ijtihad atau fatwa dari ulama’ yang dianggap sebagai tokoh mazhab tersebut, sebagaimana yang dinyatakan oleh syaikh Albani; Yang kami serukan ialah bahwa kita tidak boleh menjadikan mazhab sebagai agama dan menempatkannya pada kedudukan al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan pengertian bahwa bila terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat, kita menjadikan mazhab-mazhab tersebut sebagai rujukan untuk mendapatkan hukum-hukum terhadap hal-hal yang baru. Tidak seperti yang dilakukan oleh ahli fiqih zaman sekarang; dengan bersumber kepada kitab-kitab mazhab mereka menyusun hukum baru tentang keluarga, pernikahan, thalaq dan sebagainya tanpa mau merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Saw agar dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang hak dan mana yang bathil.[1]”.

Suatu ironi ketika menjumpai kenyataan bahwa pertentangan antar mazhab ini di kalangan awam terkadang menimbulkan tindakan yang berlebih-lebihan seperti, kafir-mengkafirkan dan bahkan sampai terjadi pertumpahan darah. Padahal para imam mazhab yang mereka anut sama sekali tidak menghendaki perselisihan dan pertentangan tersebut.


B. Pengertian Mazhab

Kata mazhab  itu berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (fi'il); dzahaba, yadzhabu, dzahban wa madzhaban,
ذَهَبَ، يَذْهَبُ، ذهْبًا، وَمَذْهَبًا

Kata “dzahaba” ini dapat diartikan; ia telah berjalan, ia telah berlalu, ia telah pergi, ia telah mati dan lain-lain yang serupa itu. Tetapi umumnya dalam bahasa Arab terpakai dengan arti “berjalan” atau “pergi”. Maka kata “madzhab” itu biasa diartikan dengan jalan atau tempat yang dilalui.

Di samping itu kata “mazhab” juga bisa diartikan dengan “tempat buang air” (toilet) misalnya seperti yang diriwayatkan di dalam hadits;

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَدَ.
Adalah Rasulullah Saw apabila pergi ke “mazhab” (tempat buang air), beliau menjauh[2].

Adapun arti mazhab menurut istilah yang telah berlaku disisi para ulama ahli fiqih ialah mengikuti sesuatu yang dipercayai misalnya:
فُلاَنٌ تَمَذْهَبَ بِفُلاَنٍ
“Si Fulan mengikut dengan mazhab si fulan.”

Atau bisa berarti: Tempat berjalan yang diikuti/yang dituju, dan dengan ini maka juga dapat diartikan sebagai; dasar pendirian yang diturut, karena telah dipercayai sepenuhnya. Misalnya seperti yang pernah dikatakan oleh imam as-Syafii:
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Apabila telah sahih suatu hadits maka ituah mazhabku.”

Maksud ucapan beliau tersebut adalah; Apabila ada satu hadits yang shahih, baik bagi beliau maupun ulama yang lain, maka hadits itu adalah mazhab (dasar pendirian) beliau[3].

Dari definisi mazhab di atas dapat difahami bahwa mazhab adalah; Hasil ijtihad seorang imam tentang hukum sesuatu masalah agama khususnya dalam masalah fiqih, misalnya; menyentuh wanita yang tidak mahram hukumnya membatalkan wudhu’ menurut imam as-Syafii. Maka dengan sendirinya mazhab hanya terdapat dalam masalah-masalah “dzanniyah” atau “ijtihadiyah”, sehingga tidak benar jika dikatakan bahwa hukum shalat lima waktu adalah wajib menurut mazhab Syafii, sebab hukum wajibnya shalat adalah wajib yang bersifat qath’iy (Ma’lum min ad-din bi ad-dharurat).


C. Sejarah Munculnya Mazhab

Munculnya fahaman mazhab di dalam Islam tidak terlepas dari sebab adanya ikhtilaf dan atau perbedaan penafsiran terhadap dalil-dalil nash baik dari al-Qur’an dan as-Sunnah, berikut ini rangkuman dari penjelasan syaikh Muhammad al-Madany dalam buku Asbab Ikhtilaf Fuqaha’ yang membagikan sebab-sebab ikhtilaf ke dalam empat bagian, yaitu;


1. Pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah

Seperti dimaklumi bahwa sumber syariat Islam yang utama adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul, keduanya berbahasa Arab, diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak), selain itu dalam ungkapannya terdapat kata "am" (umum) tapi yang dimaksudkan khusus, dan juga terdapat perbedaan menurut tinjauan dari segi lughawi dan urf serta dari segi mantuq dan mafhumnya.


2. Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasulullah Saw

Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasulullah Saw yang menonjol antara lain: (a) Perbedaan dalam penerimaan hadits; sampai atau tidaknya suatu hadits kepada sebagian sahabat (b) Perbedaan dalam menilai periwayatan hadits (shahih atau tidaknya) (c) Perbedaan mengenai kedudukan sakhsiyyah Rasul.


3. Perbedaan mengenai “qawaid ushuliyyah” dan “qawaid fiqhiyyah”.

Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul diantaranya adalah mengenai istitsna’ (pengecualian) yakni; apakah istitsna’ yang terdapat sesudah beberapa jumlah yang di’athafkan satu sama lainnya, kembali kepada semuanya ataukah kepada jumlah terakhir saja ?. Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa ististna’ itu kembali kepada keseluruhannya. Sedang menurut Abu Hanifah, istitsna’ itu hanya kembali kepada jumlah terakhir saja.

Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah contohnya antara lain sebagai berikut, mazhab Syafii dan mazhab yang lainnya menganut kaidah:
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَاتِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.”
Namun mazhab Hanafi menganut kaidah sebaliknya:
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ التَّحْرِيمُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى الإِبَاحَاتِ
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah haram, sehingga terdapat dalil yang membolehkannya.”


4. Perbedaan penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan as-Sunnah

Ulama terkadang berbeda pendapat mengenai fiqih, disebabkan perbedaan penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah, seperti misalnya; Amal ahli Madinah dijadikan dasar fiqih oleh imam Malik, namun tidak dijadikan dasar oleh para imam yang lainnya.

Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, sad adz-Dzari’ah, istishab, urf dan sebagainya yang oleh sebagian ulama’ dijadikan dasar, sedangkan sebagian ulama lain tidak menjadikannya dasar dalam mengistinbatkan hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan itu hanyalah dalam tingkatan penggunaan saja[4].

Menurut riwayat, para muta’ashib (orang-orang yang ta’ashub)  kepada salah satu dari mazhab empat mulai mendengung-dengungkan  seruan agar segenap umat Islam wajib bertaqlid kepada mazhab adalah pada abad ke-empat hijrah[5].

Namun demikian sebenarnya benih-benih mazhab telah dimulai sejak abad pertama hijrah, yakni di masa para sahabat, terdapat beberapa sahabat yang menonjol di dalam urusan fiqih, antara lain adalah; Ummul Mu'minin Aisyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dll radhiallahu 'anhum.

Di masa tabi’in  tokoh-tokohnya antara lain adalah Said bin Musayyab (W. 94 H), Abu Bakar bin Abdurrahman (W. 95 H), dll. Namun saat itu belum dikenal istilah mazhab, kemudian berkembang pesat pada abad ke-2 hingga ke-4 H, dan dalam periode inilah tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam perkembangan fiqih, selanjutnya mereka dikenal sebagai pendiri dan imam-imam mazhab yaitu;
  1. Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit (80 H  - 150 H).
  2. Imam Malik bin Anas (93 H - 179 H).
  3. Imam Muhammad bin Iddris as-Syafii (150 H - 204 H)
  4. Ahmad bin Hanbal (164 H- 241 H).
Keempat tokoh tersebut di atas dikenal dengan sebutan; al-Aimmah al-Arba’ah dari kalangan mazhab ahlus sunnah wa al-jamaah (sunni), sebenarnya selain empat imam mazhab tersebut masih ada beberapa tokoh mazhab sunni namun seiring perjalanan waktu saat ini telah tidak eksis lagi, antara lain adalah;

  • Imam Laits bin Sa’ad al-Mishry (94 H – 175 H).
  • Imam Abdurrahman al-Auza’i (88 H – 157 H).
  • Imam Daud bin Ali Al-Isfahani az-Dzahiry (202 H – 270 H).
  • Imam Ibnu Jarir at-Thabari (224 H -310 H).
Selain para mujtahid dari kalangan sunni juga muncul para mujtahid dari kalangan Syiah, seperti: Imam Zaid Ibn Ali ibn Husein (80 H-122H) dan imam Ja’far As-Shadiq (80 H-146 H)[6] dll.

Sebenarnya dalam perkembangannya istilah mazhab tidak sepenuhnya dimonopoli oleh fiqh, namun istilah mazhab sudah dipakai dalam ilmu keIslaman yang lain misalnya;


1. Dalam Akidah atau Ilmu Kalam

Terdapat berbagai mazhab akidah atau ilmu kalam antara lain; Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahmadiyah dan Salafiyah dsb.


2. Dalam Tashawwuf

Terdapat berbagai mazhab tashawwuf antara lain; Qadiriyah, Rifaiyah, Saziliyah, Naqsabandiyah, Syattariyah, Tijaniyah dan Sanusiyah dsb.


D. Karekteristik Masing-masing Mazhab Dan Wilayah Penyebarannya

Masing-masing mazhab khususnya dalam masalah fiqih mempunyai karekteristik yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang kepakaran masing-masing tokoh (imam) mazhabnya, serta situasi sosial masyarakat di wilayah munculnya mazhab-mazhab tersebut

1. Mazhab Hanafi   (Rasionalis)
Dalam melakukan istinbath hukum, Abu Hanifah membuat urutan sumber dalil sbb: Al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan dan al-’Urf (adat). Mazhab ini tumbuh dan berkembang di kawasan; Turki, Pakistan, Asia tengah, India, Amerika latin, Irak dan Mesir.

2. Mazhab Maliki
Sumber Dalil imam Malik adalah: al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ ahli al-Madinah, al-Qiyas dan al-Istihsan, al-mashalih al-Mursalah, Urf, ad-Dzari’ah dan al-IhtishabMazhab ini berkembang di; Afrika utara, Mesir, Sudan, Kuwait, Qatar dan Bahrain.

3. Mazhab Syafi’i
Sumber dalil yang dipergunakan oleh imam as-Syafii adalah: al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma dan al-Qiyas. Dalam urusan qiyas imam as-Syafii mempunyai dua syarat yaitu, pertama; Inda ad-dharurah (dalam kondisi terpaksa), yang kedua; laa qiyaasa fii al-‘ibaadah. (tidak ada qiyas di dalam urusan ibadah). Selain itu imam Syafii menentang adanya istihsan, komentar beliau tentang istihsan;
وَإِنَّمَا الاِسْتِحْسَانُ تَلَذُّذِ
”Sesungguhnya istihsan hanyalah mencari enak saja.”[7]
Mazhab ini berkembang di; Mesir, Syria, Malaysia, Indonesia dan Pilipina.


4. Mazhab Hambali
Sumber Dalil: al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’, al-Qiyas dan al-Istihsan. Dalam urusan qiyas: Imam Ahmad bin Hambal berpendirian, lebih suka memakai hadits dhaif daripada memakai qiyas, dan lebih suka mengambil keterangan dari perkataan seorang sahabat Nabi daripada mengambil qiyas. Selain itu imam hambali menentang keras ijma’, dalam hal ini beliau pernah berkata;
مَنِ ادَّعَى وُجُودَ الإِجْمَاعِ فَهُوَ كَاذِبٌ.
“Barang siapa yang menyatakan tentang wujudnya ijma’ maka dia adalah pendusta.”[8]
Mazhab hanbali ini berkembang di; Saudi Arabia dan menjadi mazhab resmi kerajaan, Syria dan di beberapa Negara Afrika.


E. Penutup

Perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan umat islam telah memunculkan berbagai mazhab, diantara mazhab-mazhab tersebut yang terbesar adalah empat mazhab, yakni; Hanafi, Maliki, As-Syafii dan Hanbali. Perbedaan pemahaman dan mazhab tersebut tidak menjadi masalah selama disikapi dengan sikap sederhana, tidak berlebih-lebihan yang menimbulkan permusuhan atau bahkan peng-kafiran satu-sama lainnya, sebab pertentangan yang sesungguhnya bukan terjadi di kalangan ulama’ yang dianggap sebagai tokoh-tokoh mazhab. Hal ini dibuktikan oleh ucapan imam mazhab itu sendiri, misalnya;


  1. Imam Abu Hanifah berkata tentang hasil ijtihadnya; “Inilah hasil ijtihadku, tetapi barang siapa yang mempunyai pendapat yang lebih baik dari hasil ijtihadku ini, maka itulah yang harus dipegang.[9]
  2. Imam Malik menyatakan; “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar, oleh karenanya telitilah pendapat saya, bila sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambillah dan bila tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah tinggalkanlah.”[10]
  3. Imam as-Syafii juga pernah berkata; “Apabila telah sahih suatu hadits, menyalahi perkataanku, maka lemparkanlah perkataanku ke belakang dinding, dan kerjakanlah olehmu hadits yang kokoh lagi kuat[11].
  4. Imam Ahmad menyatakan; “Janganlah engkau bertaqlid kepadaku atau kepada Malik atau kepada as-Syafii atau kepada al-Auza’i  dan at-Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.”[12]

Agar terhindar dari permusuhan dan kesesatan seyogianya umat Islam mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagimana yang diperintahkan oleh Allah s.w.t;
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.  
Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” QS. AN-Nisa’ : 59

Demikian pula sabda Rasulullah s.a.w:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
Telah kutinggalkan di kalangan kalian dua perkara kalian tidak akan tersesat selagi berpegangan kepada keduanya; Kitab Allah dan Sunnah NabiNya. Malik bin Anas, Al-Muawattha’ : 5/1323

Sebagai penutup penulis mengutip perkataan syaikh al-Khoyandi: “Adapun mazhab-mazhab itu tidak lebih adalah pendapat dan paham para ahli ilmu tentang suatu masalah. Terhadap pendapat-pendapat ini, bagi Allah maupun Rasul tidak mewajibkan seseorang untuk mengikutinya.”


Bibliographi

1. Kitab-kitab Al-Qur’an;
- Mushaf Al-Qur’an Al-Karim, Hadiyyah Khadim Al-Haramain, Makkah, KSA.
- Al-Qur’an Dan Terjemahan Bahasa Indonesia, Hadiyyah Khadim Al-Haramain, Makkah, KSA.
2. Kitab-kitab Al-Hadits;
- Abu Dawud (202-275 H), Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Al-Ashriyah, Beirut [Maktabah As-Syamilah].
- Malik bin Anas, Al-Muawattha’, Muassasah Zaid bin Sulthan, Abu Dabi[Maktabah As-Syamilah].
- Ibnu Majah, Abu Abdillah, Sunan Ibnu Majah, Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah [Maktabah As-Syamilah].

3. Lain-lain
- As-Syafii, Al-Imam Muhammad bin Idris, Ar-Risalah, Dar Al-Aqidah, Kairo, Mesir, 2009.
- Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Sifat Shalat Nabi r, Media Hidayah, Jogjakarta, 2000.
- Tahido Yanggo, Prof. DR. Hj. Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Gaung Persada, Jakarta, 2011.
- Chalil, KH. Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur’an Dan As-Sunnah, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1996.
- Djazuli, Prof, H.A. Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.



[1] Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Sifat Shalat Nabi r, Media Hidayah, Jogjakarta, 2000, hal. 78.
[2] HR. Ibnu Majah : 1/120
[3] Chalil, KH. Moenawar, Op. cit, hal. 398.
[4] Tahido Yanggo, Prof. DR. Hj. Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Gaung Persada, Jakarta, 2011, hal. 58-70.
[5] Chalil, KH. Moenawar, ibid, hal. 382.
[6] Tahido Yanggo, Op. cit, hal. 39.
[7] As-Syafii, Al-Imam Muhammad bin Idris, Ar-Risalah, Dar Al-Aqidah, Kairo, Mesir, 2009, hal. 387.
[8] Chalil, KH. Moenawar, ibid, hal. 310.
[9] Djazuli, Prof, H.A. Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 124.
[10] Ibnu ‘Abdul Bar dalam kitab Ushulu al-Ahkam (6/149), dikutip dalam; Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Sifat Shalat Nabi r, Media Hidayah, Jogjakarta, 2000.
[11] Chalil, KH. Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur’an Dan As-Sunnah, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal. 398.
[12] Ibnu al-Qayyim dalam Al-I’lam (2/3) dikutip dalam; Al-Albani, op. cit, hal. 60.

Wasatiyyah Concept

Wasatiyyah is a moderate concept in Islamic practice. The word wasatiyyah is derived from the word wasatan (وسطا) found in the Qur'an...