ِA. Pendahuluan
Salah satu isu yang senantiasa mengundang kontroversi dan perdebatan hangat di kalangan umat Islam adalah pembicaraan mengenai mazhab. Di dalam urusan hukumnya “bermazhab” umat Islam terbagi ke dalam berbagai pendapat;
Diantara mereka ada yang meyakini wajib bermazhab, sehingga seolah-olah orang yang tidak bermazhab tidak sah Islamnya, ada yang meyakini hanya mazhabnya saja yang benar sedangkan mazhab yang lain salah atau sesat, ada yang meyakini tidak wajib bermazhab, namun juga ada yang sama sekali yang tidak tahu-menahu tentang mazhab.
Salah satu isu yang senantiasa mengundang kontroversi dan perdebatan hangat di kalangan umat Islam adalah pembicaraan mengenai mazhab. Di dalam urusan hukumnya “bermazhab” umat Islam terbagi ke dalam berbagai pendapat;
Diantara mereka ada yang meyakini wajib bermazhab, sehingga seolah-olah orang yang tidak bermazhab tidak sah Islamnya, ada yang meyakini hanya mazhabnya saja yang benar sedangkan mazhab yang lain salah atau sesat, ada yang meyakini tidak wajib bermazhab, namun juga ada yang sama sekali yang tidak tahu-menahu tentang mazhab.
Mereka yang berkeyakinan akan wajibnya
umat Islam bertaqlid kepada salah satu imam mazhab, berhujjah dengan firman Allah s.w.t: ”Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” QS. An-Nahl : 43, dan Al-Anbiya’ :
7.
Mereka juga berhujjah
menggunakan hadits Nabi s.a.w; “Mengapa
ketika mereka tidak tahu mereka tidak mau bertanya, bukankah obat kebodohan itu
bertanya ? .“ HR. Abu Dawud : 1/93.
Padahal maksud dari firman Allah dan sabda Rasulullah Saw di atas hanya perintah kepada kita agar ketika
kita tidak tahu hendaklah bertanya kepada “ahli adz-dzikr” (ulama’), tanpa memerintahkan kita untuk bertaqlid apalagi ta’ashub
kepada ulama atau imam mazhab tertentu.
Tidak bermazhab bukan berarti kita menolak sama sekali ijtihad atau fatwa dari ulama’ yang dianggap sebagai tokoh mazhab tersebut, sebagaimana yang dinyatakan oleh syaikh Albani; “Yang kami serukan ialah bahwa kita tidak boleh menjadikan mazhab sebagai agama dan menempatkannya pada kedudukan al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan pengertian bahwa bila terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat, kita menjadikan mazhab-mazhab tersebut sebagai rujukan untuk mendapatkan hukum-hukum terhadap hal-hal yang baru. Tidak seperti yang dilakukan oleh ahli fiqih zaman sekarang; dengan bersumber kepada kitab-kitab mazhab mereka menyusun hukum baru tentang keluarga, pernikahan, thalaq dan sebagainya tanpa mau merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Saw agar dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang hak dan mana yang bathil.[1]”.
Tidak bermazhab bukan berarti kita menolak sama sekali ijtihad atau fatwa dari ulama’ yang dianggap sebagai tokoh mazhab tersebut, sebagaimana yang dinyatakan oleh syaikh Albani; “Yang kami serukan ialah bahwa kita tidak boleh menjadikan mazhab sebagai agama dan menempatkannya pada kedudukan al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan pengertian bahwa bila terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat, kita menjadikan mazhab-mazhab tersebut sebagai rujukan untuk mendapatkan hukum-hukum terhadap hal-hal yang baru. Tidak seperti yang dilakukan oleh ahli fiqih zaman sekarang; dengan bersumber kepada kitab-kitab mazhab mereka menyusun hukum baru tentang keluarga, pernikahan, thalaq dan sebagainya tanpa mau merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Saw agar dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang hak dan mana yang bathil.[1]”.
Suatu ironi ketika menjumpai
kenyataan bahwa pertentangan antar mazhab ini di kalangan awam terkadang
menimbulkan tindakan yang berlebih-lebihan seperti, kafir-mengkafirkan dan
bahkan sampai terjadi pertumpahan darah. Padahal para imam mazhab yang mereka
anut sama sekali tidak menghendaki perselisihan dan pertentangan tersebut.
B. Pengertian Mazhab
Kata mazhab itu berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja
(fi'il); dzahaba, yadzhabu, dzahban wa madzhaban,
ذَهَبَ، يَذْهَبُ، ذهْبًا، وَمَذْهَبًا
Kata “dzahaba” ini dapat diartikan; ia telah berjalan, ia telah berlalu, ia telah pergi, ia telah mati dan lain-lain yang serupa itu. Tetapi umumnya dalam bahasa Arab terpakai dengan arti “berjalan” atau “pergi”. Maka kata “madzhab” itu biasa diartikan dengan jalan atau tempat yang dilalui.
Di samping itu kata “mazhab” juga bisa diartikan dengan “tempat buang air” (toilet) misalnya seperti yang diriwayatkan di dalam hadits;
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَدَ.
Adalah
Rasulullah Saw apabila pergi ke “mazhab” (tempat buang air), beliau menjauh[2].
Adapun arti mazhab menurut istilah yang telah berlaku disisi para ulama
ahli fiqih ialah mengikuti sesuatu yang dipercayai misalnya:
فُلاَنٌ تَمَذْهَبَ بِفُلاَنٍ
“Si Fulan mengikut dengan mazhab si fulan.”
Atau bisa berarti: Tempat berjalan yang diikuti/yang dituju, dan dengan
ini maka juga dapat diartikan sebagai; dasar pendirian yang diturut, karena
telah dipercayai sepenuhnya. Misalnya seperti yang pernah dikatakan oleh imam as-Syafii:
إِذَا
صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Apabila telah sahih suatu hadits maka ituah
mazhabku.”
Maksud ucapan beliau tersebut adalah; Apabila ada satu hadits yang shahih, baik bagi beliau maupun ulama yang lain, maka hadits itu adalah mazhab (dasar pendirian) beliau[3].
Dari definisi mazhab di atas dapat difahami bahwa mazhab adalah; Hasil
ijtihad seorang imam tentang hukum sesuatu masalah agama khususnya dalam
masalah fiqih, misalnya; menyentuh wanita yang tidak mahram hukumnya membatalkan
wudhu’ menurut imam as-Syafii. Maka dengan sendirinya mazhab hanya terdapat
dalam masalah-masalah “dzanniyah” atau “ijtihadiyah”, sehingga
tidak benar jika dikatakan bahwa hukum shalat lima waktu adalah wajib menurut
mazhab Syafii, sebab hukum wajibnya shalat adalah wajib yang bersifat
qath’iy (Ma’lum min ad-din bi ad-dharurat).
C. Sejarah Munculnya Mazhab
Munculnya fahaman mazhab di
dalam Islam tidak terlepas dari sebab adanya ikhtilaf dan atau perbedaan
penafsiran terhadap dalil-dalil nash baik dari al-Qur’an dan as-Sunnah, berikut
ini rangkuman dari penjelasan syaikh Muhammad al-Madany dalam buku Asbab
Ikhtilaf Fuqaha’ yang membagikan sebab-sebab ikhtilaf ke dalam empat bagian,
yaitu;
1.
Pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah
Seperti dimaklumi bahwa sumber
syariat Islam yang utama adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul, keduanya berbahasa
Arab, diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu
(musytarak), selain itu dalam ungkapannya terdapat kata "am" (umum) tapi
yang dimaksudkan khusus, dan juga terdapat perbedaan menurut tinjauan
dari segi lughawi dan urf serta dari segi mantuq dan mafhumnya.
2.
Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasulullah Saw
Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah
Rasulullah Saw yang menonjol
antara lain: (a) Perbedaan dalam penerimaan hadits; sampai atau tidaknya suatu
hadits kepada sebagian sahabat (b) Perbedaan dalam menilai periwayatan hadits
(shahih atau tidaknya) (c) Perbedaan mengenai kedudukan sakhsiyyah Rasul.
3.
Perbedaan mengenai “qawaid ushuliyyah” dan “qawaid fiqhiyyah”.
Sebab-sebab perbedaan pendapat
yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul diantaranya adalah mengenai istitsna’
(pengecualian) yakni; apakah istitsna’ yang terdapat sesudah beberapa jumlah
yang di’athafkan satu sama lainnya, kembali kepada semuanya ataukah
kepada jumlah terakhir saja ?. Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa ististna’
itu kembali kepada keseluruhannya. Sedang menurut Abu Hanifah, istitsna’
itu hanya kembali kepada jumlah terakhir saja.
Adapun sebab-sebab perbedaan
pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah
contohnya antara lain sebagai berikut, mazhab Syafii dan mazhab yang lainnya
menganut kaidah:
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَاتِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى
التَّحْرِيمِ
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat
dalil yang mengharamkannya.”
Namun mazhab Hanafi menganut
kaidah sebaliknya:
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ التَّحْرِيمُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى الإِبَاحَاتِ
“Hukum asal dari
segala sesuatu adalah haram, sehingga terdapat dalil yang membolehkannya.”
4. Perbedaan penggunaan dalil
di luar al-Qur’an dan as-Sunnah
Ulama terkadang berbeda pendapat mengenai fiqih, disebabkan perbedaan penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah, seperti misalnya; Amal ahli Madinah dijadikan dasar fiqih oleh imam Malik, namun tidak dijadikan dasar oleh para imam yang lainnya.
Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, sad adz-Dzari’ah, istishab, urf dan sebagainya yang oleh sebagian ulama’ dijadikan dasar, sedangkan sebagian ulama lain tidak menjadikannya dasar dalam mengistinbatkan hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan itu hanyalah dalam tingkatan penggunaan saja[4].
Menurut riwayat, para muta’ashib
(orang-orang yang ta’ashub)
kepada salah satu dari mazhab empat mulai mendengung-dengungkan seruan agar segenap umat Islam wajib bertaqlid
kepada mazhab adalah pada abad ke-empat hijrah[5].
Namun demikian sebenarnya
benih-benih mazhab telah dimulai sejak abad pertama hijrah, yakni di masa para sahabat,
terdapat beberapa sahabat yang menonjol di dalam urusan fiqih, antara lain
adalah; Ummul Mu'minin Aisyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dll radhiallahu 'anhum.
Di masa tabi’in tokoh-tokohnya antara lain adalah Said bin
Musayyab (W. 94 H), Abu Bakar bin Abdurrahman (W. 95 H), dll. Namun saat itu
belum dikenal istilah mazhab, kemudian berkembang pesat pada abad ke-2 hingga
ke-4 H, dan dalam periode inilah tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh
dalam perkembangan fiqih, selanjutnya mereka dikenal sebagai pendiri dan
imam-imam mazhab yaitu;
- Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit (80 H - 150 H).
- Imam Malik bin Anas (93 H - 179 H).
- Imam Muhammad bin Iddris as-Syafii (150 H - 204 H)
- Ahmad bin Hanbal (164 H- 241 H).
Keempat tokoh tersebut
di atas dikenal dengan sebutan; al-Aimmah al-Arba’ah dari kalangan
mazhab ahlus sunnah wa al-jamaah (sunni), sebenarnya selain empat imam mazhab
tersebut masih ada beberapa tokoh mazhab sunni namun seiring perjalanan waktu
saat ini telah tidak eksis lagi, antara lain adalah;
- Imam Laits bin Sa’ad al-Mishry (94 H – 175 H).
- Imam Abdurrahman al-Auza’i (88 H – 157 H).
- Imam Daud bin Ali Al-Isfahani az-Dzahiry (202 H – 270 H).
- Imam Ibnu Jarir at-Thabari (224 H -310 H).
Selain para mujtahid dari
kalangan sunni juga muncul para mujtahid dari kalangan Syiah, seperti: Imam
Zaid Ibn Ali ibn Husein (80 H-122H) dan imam Ja’far As-Shadiq (80 H-146 H)[6] dll.
Sebenarnya dalam perkembangannya istilah mazhab tidak sepenuhnya
dimonopoli oleh fiqh, namun istilah mazhab sudah dipakai dalam ilmu keIslaman
yang lain misalnya;
1. Dalam Akidah atau Ilmu Kalam
Terdapat berbagai mazhab akidah atau ilmu kalam antara lain; Khawarij,
Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah,
Ahmadiyah dan Salafiyah dsb.
2. Dalam Tashawwuf
Terdapat berbagai mazhab tashawwuf antara lain; Qadiriyah, Rifaiyah,
Saziliyah, Naqsabandiyah, Syattariyah, Tijaniyah dan Sanusiyah dsb.
D. Karekteristik Masing-masing Mazhab Dan Wilayah Penyebarannya
Masing-masing mazhab khususnya dalam
masalah fiqih mempunyai karekteristik yang berbeda-beda sesuai dengan latar
belakang kepakaran masing-masing tokoh (imam) mazhabnya, serta situasi sosial
masyarakat di wilayah munculnya mazhab-mazhab tersebut
1. Mazhab
Hanafi (Rasionalis)
Dalam melakukan istinbath
hukum, Abu Hanifah membuat urutan sumber dalil sbb: Al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’,
al-Qiyas, al-Istihsan dan al-’Urf (adat). Mazhab ini tumbuh dan berkembang di kawasan; Turki,
Pakistan, Asia tengah, India, Amerika latin, Irak dan Mesir.
2. Mazhab
Maliki
Sumber Dalil imam Malik adalah:
al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ ahli al-Madinah, al-Qiyas dan
al-Istihsan, al-mashalih al-Mursalah, Urf, ad-Dzari’ah dan al-Ihtishab. Mazhab ini berkembang
di; Afrika utara, Mesir, Sudan, Kuwait, Qatar dan Bahrain.
3. Mazhab
Syafi’i
Sumber dalil yang dipergunakan
oleh imam as-Syafii adalah: al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma dan al-Qiyas. Dalam
urusan qiyas imam as-Syafii mempunyai dua syarat yaitu, pertama; Inda
ad-dharurah (dalam kondisi terpaksa), yang kedua; laa qiyaasa fii
al-‘ibaadah. (tidak ada qiyas di dalam urusan ibadah). Selain itu imam Syafii menentang adanya istihsan,
komentar beliau tentang istihsan;
وَإِنَّمَا الاِسْتِحْسَانُ تَلَذُّذِ
”Sesungguhnya istihsan hanyalah
mencari enak saja.”[7]
Mazhab ini berkembang
di; Mesir, Syria, Malaysia, Indonesia dan Pilipina.
4. Mazhab
Hambali
Sumber Dalil: al-Qur’an,
al-Hadits, al-Ijma’, al-Qiyas dan al-Istihsan. Dalam urusan qiyas: Imam Ahmad
bin Hambal berpendirian, lebih suka memakai hadits dhaif daripada
memakai qiyas, dan lebih suka mengambil keterangan dari perkataan
seorang sahabat Nabi daripada mengambil qiyas. Selain itu imam hambali
menentang keras ijma’, dalam hal ini beliau pernah berkata;
مَنِ ادَّعَى وُجُودَ الإِجْمَاعِ فَهُوَ كَاذِبٌ.
“Barang siapa yang menyatakan tentang wujudnya
ijma’ maka dia adalah pendusta.”[8]
Mazhab hanbali ini
berkembang di; Saudi Arabia dan menjadi mazhab resmi kerajaan, Syria dan di
beberapa Negara Afrika.
E. Penutup
Perselisihan dan
perbedaan pendapat di kalangan umat islam telah memunculkan berbagai mazhab,
diantara mazhab-mazhab tersebut yang terbesar adalah empat mazhab, yakni;
Hanafi, Maliki, As-Syafii dan Hanbali. Perbedaan pemahaman dan mazhab tersebut
tidak menjadi masalah selama disikapi dengan sikap sederhana, tidak
berlebih-lebihan yang menimbulkan permusuhan atau bahkan peng-kafiran satu-sama
lainnya, sebab pertentangan yang sesungguhnya bukan terjadi di kalangan ulama’
yang dianggap sebagai tokoh-tokoh mazhab. Hal ini dibuktikan oleh ucapan imam
mazhab itu sendiri, misalnya;
- Imam Abu Hanifah berkata tentang hasil ijtihadnya; “Inilah hasil ijtihadku, tetapi barang siapa yang mempunyai pendapat yang lebih baik dari hasil ijtihadku ini, maka itulah yang harus dipegang.”[9]
- Imam Malik menyatakan; “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar, oleh karenanya telitilah pendapat saya, bila sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambillah dan bila tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah tinggalkanlah.”[10]
- Imam as-Syafii juga pernah berkata; “Apabila telah sahih suatu hadits, menyalahi perkataanku, maka lemparkanlah perkataanku ke belakang dinding, dan kerjakanlah olehmu hadits yang kokoh lagi kuat”[11].
- Imam Ahmad menyatakan; “Janganlah engkau bertaqlid kepadaku atau kepada Malik atau kepada as-Syafii atau kepada al-Auza’i dan at-Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.”[12]
Agar terhindar dari
permusuhan dan kesesatan seyogianya umat Islam mengembalikan segala
permasalahan yang diperselisihkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagimana
yang diperintahkan oleh Allah s.w.t;
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
“Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” QS. AN-Nisa’ : 59
Demikian pula sabda
Rasulullah s.a.w:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا:
كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
Telah kutinggalkan
di kalangan kalian dua perkara kalian tidak akan tersesat selagi berpegangan
kepada keduanya; Kitab Allah dan Sunnah NabiNya.
Malik bin Anas, Al-Muawattha’ : 5/1323
Sebagai penutup
penulis mengutip perkataan syaikh al-Khoyandi: “Adapun mazhab-mazhab itu tidak lebih adalah pendapat dan paham para
ahli ilmu tentang suatu masalah. Terhadap pendapat-pendapat ini, bagi Allah
maupun Rasul tidak mewajibkan seseorang untuk mengikutinya.”
Bibliographi
1. Kitab-kitab Al-Qur’an;
- Mushaf
Al-Qur’an Al-Karim, Hadiyyah Khadim Al-Haramain, Makkah, KSA.
- Al-Qur’an
Dan Terjemahan Bahasa Indonesia, Hadiyyah Khadim Al-Haramain, Makkah, KSA.
2. Kitab-kitab Al-Hadits;
- Abu
Dawud (202-275 H), Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Al-Ashriyah, Beirut
[Maktabah As-Syamilah].
- Malik
bin Anas, Al-Muawattha’, Muassasah Zaid bin Sulthan, Abu Dabi[Maktabah As-Syamilah].
- Ibnu Majah, Abu
Abdillah, Sunan Ibnu Majah, Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah [Maktabah
As-Syamilah].
3.
Lain-lain
- As-Syafii,
Al-Imam Muhammad bin Idris, Ar-Risalah, Dar Al-Aqidah, Kairo, Mesir,
2009.
- Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin, Sifat Shalat Nabi r,
Media Hidayah, Jogjakarta ,
2000.
- Tahido Yanggo,
Prof. DR. Hj. Huzaemah, Pengantar
Perbandingan Mazhab, Gaung Persada, Jakarta ,
2011.
-
Chalil, KH. Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur’an Dan As-Sunnah, PT. Bulan
Bintang, Jakarta, 1996.
- Djazuli,
Prof, H.A. Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
[1] Al-Albani, Muhammad
Nashiruddin, Sifat Shalat Nabi r, Media Hidayah, Jogjakarta , 2000, hal.
78.
[2] HR. Ibnu
Majah : 1/120
[3] Chalil, KH. Moenawar, Op.
cit, hal. 398.
[4] Tahido Yanggo, Prof. DR.
Hj. Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Gaung Persada, Jakarta,
2011, hal. 58-70.
[5] Chalil, KH. Moenawar, ibid, hal. 382.
[6]
Tahido
Yanggo, Op. cit, hal. 39.
[7] As-Syafii, Al-Imam
Muhammad bin Idris, Ar-Risalah, Dar Al-Aqidah, Kairo, Mesir, 2009, hal.
387.
[8] Chalil, KH.
Moenawar, ibid, hal. 310.
[9]
Djazuli, Prof, H.A. Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum
Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta ,
2005, hal. 124.
[10]
Ibnu ‘Abdul Bar dalam kitab Ushulu al-Ahkam (6/149), dikutip dalam;
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Sifat Shalat Nabi r,
Media Hidayah, Jogjakarta, 2000.
[11] Chalil, KH. Moenawar, Kembali
Kepada Al-Qur’an Dan As-Sunnah, PT. Bulan Bintang, Jakarta , 1996, hal. 398.
[12] Ibnu
al-Qayyim dalam Al-I’lam (2/3) dikutip dalam; Al-Albani, op. cit, hal.
60.
No comments:
Post a Comment