Kedudukan
Mahram Sementara (Ipar)
Soal : AssalamView blogu
alaikum pak Ustaz .., saya adalah seorang
wanita yang sudah balligh, apakah benar saya tidak boleh berjabatan tangan
dengan suami daripada makcik saya disebabkan dia bukan muhrim dengan saya ?
Jawab : Wa
alaikum salam wr wb ..., sebelum menjawab soalan ini saya terlebih dahulu
memperbetulkan istilah yang salah-kaprah dari sudut bahasa dan syara’ namun
ianya sudah menjadi kebiasaan di masyarakat Melayu kita, soalan di atas
sebenarnya berkaitan dengan mahram yaitu; orang lelaki atau perempuan
yang dilarang dinikahi.
Masyarakat
Melayu kita biasa menyebut mahram dengan sebutan muhrim, padahal istilah muhrim dari sudut bahasa dan syara’ biasa digunakan dalam
pengertian; orang yang berihram, perhatikan hadits di bawah ini;
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، قَالَ: «أُتِيَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم بِلَحْمِ صَيْدٍ، وَهُوَ مُحْرِمٌ، فَلَمْ يَأْكُلْهُ».
“Dari
Ali bin Abi Thalib dia berkata; Dihidangkan kepada Nabi Saw daging hewan buruan, sedangkan beliau dalam keadaan ihram maka
beliau tidak memakannya.” HR. Ibnu Majah (K. al-Manasik) : 3091. Tahqiq syaikh
al-Albani : Shahih.
Adapun
orang lelaki atau perempuan yang dilarang dinikahi disebut dengan istilah mahram, perhatikan hadits di
bawah ini;
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي
الله عنه: أَنَّ النَّبِيَّ صل
الله عليه وسلم قَالَ: «لاَ
تُسَافِرِ المَرْأَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ».
“Dari
Ibnu Umar Ra dia berkata; Sesungguhnya Nabi Saw bersabda; Seorang wanita
selama tidak boleh bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahram.” HR. Al-Bukhari (K.
al-Jumu’ah) : 1086.
Dasar hukum yang menjadi ketentuan siapa sajakah yang tidak boleh
dinikahi telah ditetapkan oleh Allah di dalam al-Qur’an :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ ... إلخ.
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan .., dst.” QS. an-Nisa’ : 23
Pada
ayat di atas secara garis besar Allah Swt menjelaskan bahwa bagi orang lelaki
yang masuk dalam kategori mahram (di haramkan untuk dinikahi adalah :
1. Ibu
(berlaku ke atas termasuk nenek yakni ibunya ibu dan juga ibunya ayah).
2. Anak-anak
perempuan (juga berlaku ke bawah yakni cucu perempuan).
3. Saudara
perempuan
4. Makcik
dari sebelah ayah (saudara perempuannya ayah).
5. Makcik
dari sebelah ibu (saudara perempuannya ayah)
6. Keponakan
perempuan dari sebelah saudara lelaki (anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki)
7. Keponakan
perempuan dari sebelah saudara perempuan (anak-anak perempuan dari saudara
perempuan)
8. Ibu
susuan (berlaku ke atas termasuk nenek yakni ibunya ibu susuan dan juga ibunya
ayah susuan).
9. Saudara
perempuan sepersusuan.
10. Ibunya
isteri (mertua).
11. Anak tiri (yaitu anaknya isteri yang
telah dijima’, tetapi jika belum dijima’ dan isteri sudah dicerai
maka boleh menikah dengan bekas anak tiri yang demikian.
12. Isterinya
anak kandung (menantu).
13. Mengumpulkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara.
Kedudukan suaminya makcik bagi seorang perempuan atau sebaliknya
istrinya pakcik bagi orang lelaki masuk dalam ketentuan;
وَأَنْ تَجْمَعُوا
بَيْنَ الأُخْتَيْنِ.
Dan mengumpulkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara …,
Artinya
saudara perempuannya isteri dalam istilah Melayu disebut sebagai saudara ipar,
adalah mahram sementara bagi si lelaki, maksudnya;
selagi masih ada ikatan pernikahan antara si lelaki tersebut dengan isterinya
maka kedudukan saudara perempuannya isteri itu mahram (haram dinikahi), adapun jika si
lelaki tersebut kemudian bercerai dengan isterinya atau isterinya meninggal
dunia, maka dia sudah tidak mahram lagi dengan saudara perempuan
bekas isterinya (artinya dia boleh menikahi saudara perempuan bekas isterinya
tersebut), yang masuk dalam ketentuan hukum mahram sementara (ipar) bukan hanya adik
beradik perempuannya isteri saja, akan tetapi sebagai berikut;
1. Bagi
seorang lelaki yang disebut ipar adalah;
- Adik-beradik perempuannya istri.
- Istri dari pakcik (makcik sementara).
- Istri dari anak saudara (keponakan
perempuan sementara).
2. Sedangkan
bagi seorang wanita yang disebut ipar adalah;
- Adik-beradik lelakinya suami.
- Suami dari makcik (pakcik sementara).
- Suami dari anak saudara (keponakan
lelaki sementara).
Yang
sering menjadi pertanyaan adalah bolehkah seorang lelaki berjabat tangan dengan
perempuan yang berstatus mahram sementara (ipar) ?
Kebanyakan
akan menjawab tidak boleh, berdasarkan hadits;
عَنْ عُرْوَةَ، أَنَّ عَائِشَةَ، أَخْبَرَتْهُ، عَنْ بَيْعَةِ
النِّسَاءِ، قَالَتْ: مَا مَسَّ رَسُولُ اللهِ صل
الله عليه وسلم بِيَدِهِ امْرَأَةً
قَطُّ.
“Dari
‘Urwah sesungguhnya ‘Aisyah mengabari kepadanya tentang bai’atnya kaum wanita,
dia berkata; Rasulullah e sama sekali tidak pernah menyentuh
perempuan (yang tidak mahram) dengan tangannya.” HR. Muslim (K. al-Imarah)
: 1866.
Atau hadits yang seumpama dengan yang terdapat pada ilustrasi di atas.
Jawaban
yang demikian tidak sepenuhnya benar, sebab hadits-hadits di atas masih
bersifat "mujmal" (global) yang belum bisa dijadikan dasar
hukum ditambah lagi hadits tersebut tidak bersifat melarang, sedangkan hadits
yang lebih detail membahas masalah ini menunjukkan diperbolehkannya bersentuhan
antara seorang lelaki dengan wanita yang mahram sementara, berdasarkan hadits ;
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رضي الله عنهما، قَالَتْ: ... فَجِئْتُ
يَوْمًا وَالنَّوَى عَلَى رَأْسِي، فَلَقِيتُ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنَ الأَنْصَارِ،
فَدَعَانِي ثُمَّ قَالَ: «إِخْ إِخْ» لِيَحْمِلَنِي خَلْفَهُ، فَاسْتَحْيَيْتُ
أَنْ أَسِيرَ مَعَ الرِّجَالِ.
“Dari
Asma’ binti Abi Bakr dia berkata : … Saya membawa benih kurma di atas kepala saya,
aku berpapasan dengan Rasulullah Saw bersama beberpa orang Anshar, kemudian
Rasulullah Saw bersabda: Ikh, ikh (sini, sini) dengan
maksud agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu
untuk berjalan bersama orang-orang lelaki” HR. Al-Bukhari (K. an-Nikah)
: 5224.
Asma'
binti Abu Bakr adalah kakak dari ummul
Mukminin Aisyah radhiallahu anha dengan kata lain Asma' adalah saudara
ipar Rasulullah Saw, maka
berdasarkan hadits di atas jelaslah bahwa seorang lelaki boleh bersentuhan
termasuk berjabat tangan dengan perempuan yang berstatus mahram sementara (ipar).
Namun
jika ada orang yang memilih bersikap hati-hati dan tidak mahu bersalaman dengan
perempuan yang bersatatus mahram sementara (ipar) itu diperbolehkan
selama dia tidak menghukumi hal tersebut sebagai sesuatu yang haram, sebab hal
itu sama dengan mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan
Rasulullah Saw.
Semoga
Allah memberi manfaat dan barokah.
Ust.
Ihsan Muhyidiin
HP : +
65-97935769
No comments:
Post a Comment