Tuesday, July 9, 2013

Berdalil


Dalam menetapi agama kita dilarang bertaqlid (yang berarti; Mengikut saja pendapat seseorang dengan tanpa dasar dalil/hujjah), sebab taqlid dapat mengakibatkan seseorang terjerumus pada kemusyrikan, sebagaimana maksud firman Allah tentang perbuatan orang-orang Nasrani yang bertaqlid kepada para pendetanya;

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”[1]

Di dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Adiy bin Hatim, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah; mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.[2]

Oleh karenanya, agar kita tidak terjebak di dalam taqlid maka kita harus memastikan bahwa suatu “pendapat” yang diberikan oleh seseorang kepada kita itu berdasarkan dalil. Hal ini sesuai dengan yang diperingatkan oleh para ulama ahli sunnah, diantaranya adalah imam Ahmad bin Hambal; “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil”.[3] 

Ringkasnya, dalil adalah kayu-ukur suatu kebenaran, sebagaimana maksud firman Allah Swt;


قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ.
“Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaran(dalil)mu jika kamu semua adalah orang-orang yang benar".[4]

Namun untuk berdalil kita perlu memperhatikan tiga aspek, yakni; wujudnya dalil, keshahihan dalil, penggunaan dalil.


1. Wujudnya Dalil (وجود الدليل)
Untuk menyampaikan suatu pendapat yang berkaitan dengan urusan agama salah satunya adalah urusan ibadah maka seseorang harus diperkuat oleh dalil sebab kalau tidak maka pendapat itu merupakan royu yang tertolak, berdasarkan dalil;


وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا.
“Dan janganlah kamu katakana (kerjakan) sesuatu yang tidak ada padamu ilmunya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan ditanya mengenainya.” [5]

Dan sabda Nabi s.a.w:

حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
“Sehingga ketika Allah sudah tidak menyisakan orang yang berilmu maka manusia mengangkat orang bodoh sebagai pemimpin (tokoh agama) ketika ditanya mereka memberi jawaban dengan tanpa ilmu maka mereka sesat dan menyesatkan.”[6]


2. Kesahihan Dalil (صحة الدليل)

Selanjutnya dalam masalah berdalil kita juga harus hati-hati, terkadang seseorang (terutama yang awam dalam ilmu hadits) dengan mudah menyebut suatu hadits sebagai dalil, namun ternyata dalil yang dia jadikan hujjah tersebut adalah hadits palsu. wal iyadzu billahز


Padahal sengaja mendalil dengan hadits palsu hukumnya sama dengan berdusta atas Nabi Saw dengan ancaman yang berat (neraka);


عن المغيرة قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ».
“Dari al-Mughirah Ra dia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : Sesungguhnya dusta atas (namaku) tidaklah sama dengan dusta atas (nama) orang lain, barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia menduduki tempatnya di neraka.”[7]



3. Penempatan Dalil (وجهة الدليل)

Jika kita yakini bahwa pendapat tersebut telah diperkuat dalil dan dalil itu telah dipastikan kesahihannya maka kita harus melihat penempatan atau penerapannya, dalil itu sesuai tidak untuk dijadikan hujjah atas pendapat kita tsb, jangan sampai antara dalil dengan pendapat kita tidak nyambung (sama sekali tidak ada hubungannya).

Contoh sebagian masyarakat Islam yang senantiasa mengadakan tahilan dan mengadakan majelis-majelis "dzikir", mereka meyakini bahwa apa yang mereka amalkan selama ini adalah ibadah yang istimewa, menghidupkan sunnah Rasulullah Saw, dalam hal ini mereka berdalil dengan hadits sabda Nabi Saw:


إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ، وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ.
Sesungguhnya tidak ada Islam melainkan dengan berjamaah, dan tidak ada berjamaah melainkan dengan berimarah, dan tidak berimarah melainkaan dengan ketaatan.

Hadits ini mereka jadikan dalil bahwa hanya mereka saja yang Islamnya sah, sedangkan umat Islam di luar kelompok mereka Islamnya tidak sah, alias kafir. Sebab tidak berjamaah dan tidak mempunyai imam. Ini jelas penyimpangan dalam beristidlal (berdalil). Setidaknya ditinjau dari dua sudut, yaitu kualitas kehujjahan dan dari pemahaman atas dalalah yang terkandung dalam hadith tersebut.

Dari sudut kehujjahan hadits di atas adalah termasuk atsar as-shahabah sebab hadits tersebut diriwayatkan dengan mauquf pada Umar r.a. Sebenarnya, atsar shahabah yang shahih dapat diterima sebagai hujjah jika tidak menyalahi dalil di atasnya yakni al-Qur'an dan sabda Rasulullah s.a.w (al-hadits). Namun, masalahnya hadits tersebut dari sudut periwayatannya atau sanadnya tidak shahih, artinya tidak dapat diyakini sepenuhnya bahwa itu adalah ucapan Umar r.a.


Dari sudut dalalah juga bermasalah, sebab yang dimaksud jamaah dalam syariah Islam adalah komunitasnya umat Islam yang disatukan dalam satu akidah, di zaman awal adalah terhimpun dalam daulah Islam, sebab zaman dahulu bangsa Arab hanya mengenal sistem bernegara sejak Rasulullah s.a.w hijrah ke Madinah dan membentuk suatu daulah atau negara di Madinah. Dengan demikian yang dimaksud dengan imarah di dalam hadits tersebut (kalau saja hadits itu sahih) adalah kepala negara di zaman dahulu adalah khalifah, sedangkan dalam konteks sekarang bisa berupa raja atau presiden atau perdana menteri, bukan orang yang mengaku imam namun secara rahasia.

Ringkasnya, pemahaman mereka atas dalil yang terkandung di dalam hadits itu adalah salah, menyimpang dan kejahilah yang teramat parah (jahl murakkab).
 Wallahu A'lam.


[1] QS. At-Taubah (09) : 31.
[2] HR. At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi (Abwabu Tafsir al-Qur’an) : 5/278. Tahqiq syaikh Albani; Hasan.
[3] Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302
[4] QS. Al-Baqarah (02) : 111.
[5] QS. Al-Isra’ (17) : 36.
[6] HR. Muslim, Shahih Muslim (Kitab al-Ilmi) : 4/2058.
[7] HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kitab al-Janaiz) : 2/80.
[8] HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kitab ad-Da’awat) : 8/86.
[9][9] QS. An-Nahl (16)  : 43.

No comments:

Wasatiyyah Concept

Wasatiyyah is a moderate concept in Islamic practice. The word wasatiyyah is derived from the word wasatan (وسطا) found in the Qur'an...