Saturday, July 6, 2013

Adab Ikhtila III


Para sahabat telah memberi contoh kepada kita cara memunculkan perbedaan pendapat dengan penuh kesantunan, salah-satunya adalah ummul mukminin Aisyah Ra, beliau menggunakan perkataan yang halus saat mengkritik Abdullah bin Umar yang menyatakan bahwa orang mati disiksa sebab tangisan orang yang hidup, Aisyah berkata;

غَفَرَ اللهُ لأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَمَا إِنَّهُ لَمْ يَكْذِبْ، وَلَكِنَّهُ نَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ، إِنَّمَا مَرَّ رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم عَلَى يَهُودِيَّةٍ يُبْكَى عَلَيْهَا، فَقَالَ: إِنَّهُمْ لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا، وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِي قَبْرِهَا. رواه مسلم : ٢/٦٤٣، والترمذي : ٣/٣١٩، النسائي : ٤/١٧
Semoga Allah mengampuni Abdirrahman, sesungguhnya dia tidaklah berdusta akan tetapi dia lupa atau keliru, sesungguhnya Rasulullah Saw atas jenazah yahudi perempuan yang sedang ditangisi, Nabi bersabda sesungguhnya mereka sedang menangisi jenazah tersebut padahal jenazah itu sedang disiksa dikuburnya[1].


Tidak Menghina Ulama atau Umara’ Yang Mempunyai Pendapat Yang Berbeda;

Dalam menyatakan pemahaman yang berbeda atas suatu ijtihad ulama’ hendaklah kita tidak memposisikan diri kita sebagai orang yang sejajar atau bahkan lebih hebat dibandingkan ulama’, sebab selayaknya ulama’ tidak dikoreksi melainkan oleh sesama ulama’. Jangan sampai keta’ashuban kita pada suatu fahaman membuat kita lupa diri lalu mencela bahkan menghina ulama’ yang menjadi tokoh bagi mazhab yang berbeda dengan mazhab mazhab yang kita yakini. Dalam hal ini sebaiknya renungkan nasihat Imam Ibnu Asakir:

لُحُومُ الْعُلَمَاءِ مَسْمُومَةٌ، وَعَادَةُ اللهِ فِي مُنْتَقَصِهِمْ مَعْلُومَةٌ.
Daging para ulama’ itu beracun dan kebiasaan Allah terhadap orang yang meremehkan mereka sudah dapat diketahui[2].

Sikap dua orang sahabat Nabi Saw yakni Abdullah bin Abbas dan Zaid bin Tsabit Ra dapat menjadi tauladan bagi kita di dalam menyikapi perbedaan pendapat dengan tetap tidak mengurangi rasa hormat kepada ulama’.

Diantara Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit terdapat perbedaan pendapat di dalam hukum waris (faraidh) dalam kasus apakah saudara lelaki (al-akh) mendapat warisan ketika bersama kakek (al-jadd), menurut Zaid saudara lelaki bisa mewaris bersama-sama kakek. Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa kakek menghalangi saudara lelaki sebab menurutnya kedudukan kakek sama dengan bapak, mereka sempat bersitegang dalam hal ini, sehingga Ibnu Abbas berkata kepada Zaid; Apakah kamu tidak takut kepada Allah dengan pendapatmu yang menjadikan cucu (ibnu al-ibn) mengambil tempat anak lelaki (al-ibn) sedangkan kamu tidak jadikan bapaknya bapak (kakek) mengambil tempatnya bapak (al-ab)?

Namun hal itu tidak membuat mereka saling menjatuhkan (menghina) satu sama lainnya, bahkan suatu ketika Ibnu Abbas melihat Zaid bin Tsabit datang melintas dengan mengendarai kuda, lalu dengan tanpa canggung Ibnu Abbas menghampirinya kemudian menuntun tali kekang kuda yang sedang ditunggangi oleh Zaid tersebut, seakan-akan Ibnu Abbas adalah khadamnya Zaid. Hal ini membuat Zaid merasa tidak nyaman kemudian dia berkata; “Tinggalkan aku wahai sepupu Rasulullah”, Ibnu Abbas menjawab; “Beginilah aku diperintahkan untuk bersikap kepada para ulama’ dan para pembesar kita”. Lalu Zaid berkata; “Tunjukkanlah tanganmu”, Ibnu Abbas menunjukkan tangannya kepada Zaid, lalu oleh Zaid telapak tangan Ibn Abbas diciumnya sambil berkata; “Seperti inilah kita disuruh memperlakukan para ahli baitnya Rasulullah” Saw [3].

Para imam mazhab pun telah memberi contoh kepada kita dengan sikap-sikap yang tasammuh di dalam perbedaan, mereka tidak pelit dan tidak malu untuk menyampaikan sanjungan antara satu dengan lainnya, sebagai ilustrasi; Imam as-Syafii misalnya, tetap menghormati keistimewaan Abu Hanifah dan keunggulan imam Ahmad bin Hambal dalam bidang tertentu, seperti tercermin dalam ucapannya;

Semua manusia memerlukan Abu Hanifah di dalam urusan fiqih.

Aku keluar dari Baghdad tidak ada seorangpun yang aku tinggalkan di sana yang lebih utama dan lebih alim dan lebih faqih daripada Ahmad bin Hambal.

Imam Ahmad sewaktu ditanya oleh putranya; Siapa sebenarnya imam as-Syafii sehingga ayah selalu mendoakannya sejak 40 tahun ? jawab imam Ahmad;

Imam as-Syafii bagaikan matahari bagi dunia dan bagaikan obat bagi manusia, lihatlah wahai anakku apakah ada orang yang mampu menggantikan beliau dalam dua perkara ini?[4]

Bersambung ...


[1] HR. Muslim : 2/643. At-Tirmidzi : 3/319. An-Nasai : 4/17.
[2] Abu Zakariya, Muhyiddin, At-Tibyan Fi Adabi Hamalati Al-Qur’an, Dar Ibn Hazmin, Beirut, 1994, 1/29. [Dikutip dalam Adab Mengendalikan Perbezaan Pendapat Menurut Islam, DR. Abdullah, Md. Zain : 2012]
[3] Yasir Muhammad al-adl, 1993, Fiqh al-Ghaib, h. 136-137, dikutip dalam; Adab Mengendalikan Perbezaan Pendapat Menurut Islam, DR. Abdullah, Md. Zain : 2012.
[4] Tahido Yanggo, Prof. DR. Hj. Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Gaung Persada, Jakarta, 2011, h. 42-43.

No comments:

Wasatiyyah Concept

Wasatiyyah is a moderate concept in Islamic practice. The word wasatiyyah is derived from the word wasatan (وسطا) found in the Qur'an...